Thursday 17 November 2022

Pertembungan idea dalam Melayu-Islam

Apabila dianalisis secara mendalam perkembangan politik Melayu-Islam sehari dua ini, jelas sekali sebenarnya merupakan hasil pertarungan besar idea (contending of major ideas) antara 3 kelompok:

1. Kelompok nasionalis melayu tulen yang diwakili oleh UMNO, BERSATU dan PEJUANG. Bagi mereka ini, Islam itu adalah juzu’ kecil dalam perjuangannya.

2. Kelompok nasionalis melayu tulen yang cuba diwarnai (sibghah) dengan Islam (Islamic nationalist) yang diwakili oleh PAS. Golongan ini dipanggil oleh Dr. Harun Din dalam perbualannya dengan Ustaz Azizan Razak 1976 di rumahnya di PJ (sebelum pindah di Bangi – Mohd Nor Nawawi menemani Ust Azizan Razak); iaitu berorientasi Islamik tetapi kental kebangsaan Melayu. Beliau menganggap dirinya dalam kelompok ini. Ust Fadhil Mohd Noor tidak menerima (subscribes) kepada kaedah ini tetapi Ust Hadi Awang samalah pemikirannya Dr. Harun Din.

3. Kelompok Islamis yg memahami Islam itu alamiah dan tidak tertarik dgn Nationalis Melayu tulen. Kelompok ini diwakili oleh Dato Seri Anwar Ibrahim (DSAI) yang melihat masyarakat yang dibina oleh Rasulullah SAW dalam konteks Perlembagaan Madinah dan Negara Islam Sepanyol dengan persetujuan (convenvicia) yang masyur itu di mana orang Islam, Kristian dan Yahudi hidup aman damai lebih kurang 800 tahun. Bagi DSAI, inilah model Islam terbaik bagi masyarakat majmuk, dan inilah yg cuba dibawanya hari ini dengan tidak mahu menafikan hak-hak bukan Islam.

Ulama pendakwah terkenal al-Marhum Dr. Syeikh Muhammad al-Ghazali ketika dijemput ke Malaysia oleh DSAI pada tahun 1990-an mengatakan “unik sekali Malaysia ini. Allah menguji anda apakah anda boleh mewujudkan Sepanyol kedua. Segala resipi ada di sini”.

Jadi, saudara perlu ingat apa sedang kita saksikan ini BUKAN percaturan politik kecil, tetapi merupakan pertarungan idea yg besar. Sudah tentu akan ada orang yang menyokong kelompok 1, 2 dan 3 mengikut kefahaman masing-masing.

Cuma persoalannya dari segi ajaran Islam sebenar, ajaran manakah yg betul?

Dr. Mohd Nor Nawawi berpandangan yang ketiga (3) adalah lebih tepat kerana ISLAM TIDAK RASIS atau PERKAUMAN.

Sejarah Islam ialah sejarah kepelbagaian etnik dan agama. Yang Nabi tidak benarkan agama lain wujud kecuali Islam sahaja hanyalah di Jazaratul Arab (Semenanjung Arab). Selain daripada itu tiada masalah.

Sejarah Islam adalah penuh dengan toleransi dan tasamuh terhadap semua kelompok muslim dan bukan Muslim. Hukum Islam (kecuali yang jelas (qat’ie)) berubah mengikut situasi.

Pada asalnya, ulama berpandangan, perlu ada 1 khalifah sahaja. Tetapi, apabila wujud lebih khalifah (Abassiah di Timur Tengah dan Umayyah di Spanyol) ulama mengubah pula fatwanya dan selepas itu apabila wujud sultan-sultan dan kerajaan-kerajaan kecil, ulama mengubah lagi fatwa mereka.

Dalam konteks Sepanyol yang mana terdapat masyarakat Muslim dan Kristian, para ulama tersohor (muktabar) di Sepanyol menulis dengan mendalam sekali tentang hukum kerjasama Muslim-Kristian.

Jadi Islam itu relevan sepanjang zaman kerana ijtihad ulama adalah hebat.

Organisasi politik yang tidak mengikuti perkembangan zaman akan terus ditinggalkan zaman.

Prof Dr. Mohd Nor Nawawi berpendapat DSAI memahami Islam itu dengan tepat, berbanding orang tertentu walaupun dipanggil ustaz!

Kredit: Prof Dr Mohd Nor Nawawi, Universiti Islam Selangor (UNISEL), Malaysia.

#jatidirimelayuislam

DrIsbah, Teras Jernang, 17-11-2022.

ORANG ZALIM SALING MEMBANTU

Dalam hidup ini kita dapati ada pihak yang adil dan pihak yang melakukan kezaliman. Bentuk-bentuk keadilan dan kezaliman itu bermacam-macam.

Kita juga dapati adanya persahabatan antara jin dan manusia kerana manusia akan menggunakan jin bagi memenuhi keperluan mereka, Allah juga menjadikan sebagian orang-orang zalim sebagai teman bagi sebagian yang lain. Kami jadikan sebagian mereka sebagai penolong sebagian yang sesuai dengan takdir dan sunnah alam, sebagaimana sebagian orang Mukmin menjadi kawan sebagian yang lain. Firman Allah SWT,

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain." (at-Taubah:71).

"Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain." (al-Anfaal:73).

Qatadah mengatakan dalam penafsiran ayat ini, “Allah hanya menjadikan persahabatan di antara manusia sesuai dengan amal mereka. Orang Mukmin adalah pelindung bagi orang Mukmin yang lain di mana pun dan bila pun dia berada. Orang kafir adalah pelindung bagi orang kafir yang lain, di mana pun dan bila pun dia berada. Keimanan bukanlah angan-angan atau penampilan saja." Ath-Thabari sependapat dengan tafsiran ini. Dengan demikian, makna ayat ini adalah sebagaimana Allah jadikan sebagian orang musyrik dari kalangan jin dan manusia sebagai pelindung bagi sebagian yang lain dan mereka saling menolong antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga, Allah jadikan sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain dalam segala urusan yang disebabkan oleh kemaksiatan yang mereka lakukan.

Imam Suyuthi dalam al-Iklil mengatakan bahwa ayat ini sama erti dengan hadits,

"Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin yang mengurusi kalian.”

Fudhail bin Iyadh berkata, "Jika kamu melihat orang zalim yang melakukan pembalasan kepada orang zalim yang lain, diamlah dan lihatlah dengan penuh kehairanan." Abu Syekh bin Hayyan meriwayatkan dari Manshur bin Abil Aswad, dia berkata, “Aku bertanya kepada al-Amasy tentang firman Allah SWT, ‘Apa yang kalian dengan dari perkataan mereka?' Manshur berkata, “Aku mendengar mereka berkata,'Jika manusia telah rusak, mereka akan dipimpin oleh orang-orang jahat dari mereka.' Sesungguhnya kekuasaan dan pemerintahan adalah milik orang-orang yang paling buruk dari mereka."' Sebagaimana firman Allah SWT,

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar mentaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)." (al-lsraa':16).

Bentuk persahabatan antara orang-orang zalim boleh dalam bentuk saling menyayangi dan saling menolong di antara mereka, boleh juga sebagian mereka menguasai dan memimpin sebagian yang lain. Tidak ada seorang zalim pun, kecuali dia akan dikuasai oleh orang yang lebih zalim darinya. Kezaliman bersifat umum dan mencakup orang-orang yang menzalimi diri sendiri dan orang lain, baik itu para pemimpin maupun lainnya. Setiap kelompok menguasai kelompok yang memiliki kemiripan dalam perangai dan amal perbuatan. Ia akan membelanya dari dalam menghadapi yang lainnya. Ibnu Abbas berkata, "Jika Allah meridhai sebuah kaum, Dia akan menguasakan urusan mereka kepada yang terbaik dari mereka. Jika Allah murka kepada kaum, Dia akan menguasakan urusan mereka kepada yang terburuk dari mereka." Ini adalah ancaman yang bersifat umum kepada setiap orang yang zalim, baik dalam pemerintahan, kekuasaan, maupun yang lainnya.

Allah melanjutkan celaannya terhadap orang-orang zalim dan ancamannya kepada orang-orang kafir dari golongan jin dan manusia. Ia menjelaskan keadaan mereka pada hari Kiamat, iaitu dengan bertanya kepada mereka, padahal Dia Maha Mengetahui. "Bukankah para rasul telah menyampaikan risalah mereka?" Ini adalah pertanyaan yang bernada penegasan, ancaman, dan hinaan. Allah SWT berfirman, “Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum sampai kepada kalian para rasul dari golongan kalian?” Para rasul berasal dari golongan manusia saja, tidak ada yang berasal dari jin, sebagaimana ketetapan mayoritas ulama salaf dan khalaf.

Mutiara dan marjan menurut kebiasaan orang-orang dahulu hanya keluar dari air laut yang asin, bukan tawar. Kemudian, terbukti bahwa sebagian sungai yang tawar terdapat mutiara juga yang boleh diambil.

Boleh juga yang dimaksud adalah para rasul dari jenis manusia yang sudah dikenal dan para rasul dari bangsa jin yang mendengarkan bacaan Nabi Muhammad saw. kemudian pergi untuk memberi peringatan kepada kaum mereka. Allah SWT berfirman,

"Mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan." (al-Ahqaaf:29).

"Katakanlah (Muhammad), 'Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan),' lalu mereka berkata, 'Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al-Qur'an)."' (al-Jinn:1).

Tugas dari para rasul ini adalah membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan keimanan, hukum, dan akhlak. Mereka memberi peringatan tentang datangnya hari penghimpunan, hisab, dan pembalasan kepada orang yang kufur dan mengingkarinya. Mereka menjawab pertanyaan itu pada hari Kiamat kami mengakui bahwa para rasul telah menyampaikan risalah kepada kami, memberi peringatan kepada kami tentang hari perjumpaan dengan-Mu, dan ini pasti terjadi. Ayat ini sama seperti firman Allah SWT,

"Mereka menjawab, 'Benar, sungguh, seorang pemberi peringatan telah datang kepada kami, tetapi kami mendustakan(nya) dan kami katakan, Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun, kamu sebenarnya di dalam kesesatan yang besar."' (al-Mulk:9).

Mereka tertipu oleh kehidupan dunia dengan hiasan dan kenikmatannya, yakni hawa nafsu, harta, anak-anak, cinta pada kekuasaan dan derajat yang tinggi sehingga mereka mengabaikan perintahAllah dalam kehidupan dunia mereka. Mereka binasa karena mendustakan para rasul dan mengingkari mukjizat karena sombong dan angkuh. Mereka bersaksi untuk diri mereka sendiri pada hari Kiamat bahwa mereka di dunia mengingkari apa yang dibawa para rasul. Pengutusan para rasul, adanya peringatan kepada manusia, dan penurunan kitab-kitab sesuai dengan sunnatullah bahwa seseorang tidak akan dihukum atas dosa yang dilakukannya jika risalah dakwah belum sampai kepadanya. Sebuah umat juga tidak akan dibinasakan dengan siksa yang memusnahkan kecuali setelah diutusnya para rasul kepada mereka, sebagaimana firman Allah SWT,

"Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan." (Faathir:24).

"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), 'sembahlah Allah, dan jauhilah Taghut."' (an-Nahl:36).

"Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul." (al-Israa':15).

Kata (بِظُلۡمٖ) sebagaimana disebutkan oleh ath-Thabari mempunyai dua makna. Pertama, syirik dan sejenisnya, yakni kezaliman adalah perbuatan orang-orang kafir. Kedua, pembinasaan bukanlah suatu kezaliman walaupun tanpa adanya peringatan akan datangnya para rasul, ayat-ayat, dan peringatan sebab semua itu adalah kekuasaan Allah SWT. Makna yang pertama lebih kuat sebagaimana pendapat ath-Thabari, ar-Razi, dan lainnya.

Kesimpulannya ialah sesungguhnya Allah tidak menzalimi seorang pun dari makhluk-Nya, tetapi manusia yang zalim pada dirinya sendiri. Semua yang menimpa kepada umat Islam disebabkan perbuatan buruk mereka dan karena mereka meninggalkan agama. Kesalahan ada pada mereka bukan pada sistem syari'at. Setiap orang yang beramal, baik ketaatan maupun kemaksiatan akan mendapatkan kedudukan dan posisi sesuai amalnya. Allah akan menyampaikan padanya dan memberinya pahala amal. Jika amalnya baik, balasannya baik. Jika buruk balasannya buruk. Allah mengawasi semua amal perbuatan. Tidak ada satu perbuatan mereka, kecuali Allah mengetahuinya. Dialah yang menghitung dan menetapkannya untuk mereka di sisi-Nya untuk kemudian akan dibalas ketika mereka bertemu dengan-Nya dan kembali kepada-Nya. Ini adalah dalil bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan tergantung pada amal perbuatan manusia dan keinginannya, usaha, kehendak, dan ikhtiarnya.

Semoga Allah memberikan kita kesedaran dalam memahami situasi masyarakat kini dan memilih pemimpin yang baik sesuai dengan negara, bangsa dan agama. Aamiin!!!...

Rujukan: Tafsir Al-Munir Jilid 4 - Juzuk 7 & 8 (Bahasa Indonesia), dari mukasurat 328 hingga 332.

DrIsbah, Teras Jernang, 17-11-2022.

Saturday 17 September 2022

DALAM KESULITAN MENGADULAH KEPADA ALLAH.

Allah SWT memaklumkan kepada kita bahwa Dia adalah Zat Yang Maha melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Ia Maha Mengatur ciptaan-Nya sesuai dengan yang diinginkan-Nya, dan bahwa tidak ada penghalang apa pun yang boleh menghukumi-Nya. Tiada seorang pun yang mampu menghindarkan hukum-Nya dari ciptaan-Nya, bahkan Allah SWT adalah Zat Yang Esa tiada sekutu bagi-Nya. Dia akan mengabulkan permintaan siapa saja yang Ia kehendaki.

Katakanlah kepada orang-orang musyrik wahai Rasul, "Bagaimana jika adzab Allah SWT datang menimpa kalian, sebagaimana adzab yang telah menimpa umat-umat terdahulu, seperti gempa, angin taupan, halilintar yang berkilat, badai, dan banjir? Bagaimana jika hari Kiamat didatangkan kepada kalian dengan segala macam kepanikan, kehinaan, dan hiruk pikuk malapetaka yang menakutkan? Adakah kalian akan menyeru kepada selain Allah SWT untuk menghindar dari apa yang menimpa diri kalian? Ataukah kalian akan menyeru kepada berhala yang kalian jadikan sebagai tempat berlindung? Ataukah kalian memercayai berhala-berhala itu sebagai Tuhan dan sebagai sekutu Allah SWT?

Kemudian, Allah SWT memberikan mereka jawaban dengan nada mencemuh dari pertanyaan-pertanyaan ini melalui firman-Nya (بَلۡ) untuk menggugurkan semua yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun jawabannya adalah bahwa pada saat kalian tertimpa kesengsaraan, malapetaka, dan cobaan, kalian hanya meminta kepada kepada Allah semata. Kalian meminta agar Ia menghilangkan segala penderitaan yang ditimpakan kepada kalian dan Allah SWT menghilangkan penderitaan tersebut sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya. Pada saat itu, kalian melupakan apa yang selama ini membuat kalian musyrik. Kalian meninggalkan tuhan-tuhan kalian dan yang kalian ingat hanyalah Allah SWT semata, sebagaimana firman Allah SWT,

"Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur)." (al-Israa': 67).

"Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)." (al-'Ankabuut:65).

"Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, Ialu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih." (Luqmaan:32).

Dalam ayat-ayat 40 hingga 45, Surah Al-An’aam (6), Allah SWT menyatakan mengenai kekuasaan, ke-Esa-an, dan keterangkuman hidup manusia berada dalam genggaman-Nya.

Katakanlah (wahai Muhammad): "Khabarkanlah kepadaku, jika datang kepada kamu azab Allah, atau datang kepada kamu hari kiamat, adakah kamu akan menyeru yang lain dari Allah (untuk menolong kamu), jika betul kamu orang-orang yang benar?" (Al-An’aam (6) : 40).

Bahkan Dia lah (Allah) yang kamu seru lalu Ia hapuskan bahaya yang kamu pohonkan kepadaNya jika Ia kehendaki; dan kamu lupakan apa yang kamu sekutukan (dengan Allah dalam masa kamu ditimpa bahaya itu). (Al-An’aam (6) : 41).

Dan demi sesungguhnya Kami telah utuskan Rasul-rasul kepada umat-umat yang dahulu daripadamu (lalu mereka mendustakannya), maka Kami seksakan mereka dengan kebuluran dan penyakit, supaya mereka berdoa (kepada Kami) dangan merendah diri (serta insaf dan bertaubat). (Al-An’aam (6) : 42).

Maka alangkah eloknya kalau mereka berdoa kepada Kami dengan merendah diri (serta insaf dan bertaubat) ketika mereka ditimpa azab Kami? Tetapi yang sebenarnya hati mereka keras (tidak mahu menerima kebenaran), dan Syaitan pula memperelokkan pada (pandangan) mereka apa yang mereka telah lakukan. (Al-An’aam (6) : 43).

Kemudian apabila mereka melupakan apa yang telah diperingatkan mereka dengannya, Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu segala kemewahan dan kesenangan, sehingga apabila mereka bergembira dan bersukaria dengan segala nikmat yang diberikan kepada mereka, Kami timpakan mereka secara mengejut (dengan bala bencana yang membinasakan), maka mereka pun berputus asa (dari mendapat sebarang pertolongan). (Al-An'aam (6) : 44).

Lalu kaum yang zalim itu dibinasakan sehingga terputus keturunannya. Dan (dengan itu bersyukurlah kerana musnahnya kezaliman, dengan menyebut): "Segala puji tertentu bagi Allah Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian Alam". (Al-An’aam (6) : 45).

Ayat-ayat sebelum ayat 40 hingga 45, telah menjelaskan betapa bodohnya orang kafir dan betapa ilmu Allah SWT meliputi seluruh alam. Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan situasi lain dari orang-orang kafir tatkala mereka diuji dengan bencana dan musibah, mereka mengadu dan kembalikan kepada Allah SWT, bahkan tidak berani mendurhakai-Nya. Hal ini dipengaruhi oleh keperluan manusia pada tauhid tersebut.

Begitulah, Allah SWT telah meletakkan di dalam fitrah manusia ketauhidan dan kepatuhan terhadap Pencipta yang hakiki dan Yang Maha Berkuasa yang kekuasaan-Nya melebihi segala sesuatu. Tiada satu pun yang mampu mengalahkan-Nya baik di langit maupun di bumi. Adapun kemusyrikan yang sifatnya adalah sementara dan berasal dari warisan kaum-kaum primitif, hingga ketika tertimpa cobaan, mereka akan memohon dengan sangat kepada Allah SWT,

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (lslam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (lnilah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (ar-Ruum:30).

Allah SWT memberikan contoh dengan perumpamaan umat-umat terdahulu dan mengukuhkannya sebagai contoh agar dapat dijadikan pengajaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesengsaraan yang menimpa hamba-hamba-Nya itu telah menjadi sunatullah agar mereka berbalik dari kesesatannya dan menjadi sedar kembali. Kemudian, Allah SWT berfirman (وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَآ) yang maksudnya adalah Allah telah mengutus para rasul kepada umat-umat sebelummu, lalu para rasul itu mengajak mereka untuk mengesakan Allah SWT dan menyembah-Nya, namun mereka tidak mengindahkan ajakannya maka Allah pun menguji mereka dengan musibah dan malapetaka, yakni dengan kefakiran, kesempitan hidup, penyakit, dan kepedihan agar mereka berdoa dan mengharap dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT dengan penuh kekhusyuan. Sebabnya, musibah-musibah tersebut akan membersihkan jiwa, memperkuat mental, dan meluruskan akhlak. Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya ketika orang-orang musyrik menempuh jalan yang berbeda dengan para nabi, seperti jalan yang di tempuh oleh orang sebelum mereka. Mereka mencabarnya agar diturunkan bencana, sebagaimana bencana yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelumnya.

Kemudian, Allah SWT menegaskan anjuran-Nya supaya memohon dengan sungguh-sungguh dengan mengatakan, “Andai saja kalian tunduk kepada-Ku dan bersikap khusyu’ dan bertaubat tatkala datang cobaan dan tanda-tanda dari siksaan." Akan tetapi mereka tidak mau melakukannya dan hati mereka menjadi keras, yakni hati mereka tidak lembut dan halus dan mengeras bagaikan batu bahkan lebih keras lagi. Mereka tidak mau mengambil pelajaran dan syaitan akan menghiasi perbuatan mereka dengan tindakan syirik, dosa, durhaka, dan maksiat, bahkan syaitan akan membisikkan kepada mereka untuk tetap mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Kemudian, Allah SWT menurunkan siksaan kepada mereka disertai dengan penjelasan penyebab dan pertimbangannya, Allah SWT berfirman, (فَلَمَّا نَسُواْ) maksudnya adalah tatkala mereka berpaling dari para rasulnya yang membawa ajaran baik berupa berita gembira maupun peringatan, mereka melupakannya dan membelakanginya. Mereka terus berada dalam kekafiran dan kedurhakaannya, Ialu Allah SWT membukakan pintu rezeki dengan berbagai macam kemakmuran hidup, kesihatan, keamanan, dan lain sebagainya sesuai dengan yang diinginkan mereka. Ini adalah istidraj dan pembiaran dari Allah SWT kepada mereka sehingga tatkala mereka bersuka ria dengan apa yang telah mereka terima berupa rezeki, anak-anak dan harta benda. Allah SWT menjadikan mereka lalai dan menimpakan siksa yang tak terduga kepada mereka. Mereka pun menjadi putus asa dari keselamatan dan semua kebajikan.

Binasalah kaum yang menzalimi dirinya sendiri, iaitu mereka yang mendustakan rasul dan tetap berkubang dalam kemusyrikan yang membinasakan sehingga tak ada seorang pun dari mereka yang akan selamat. Pujian seutuhnya hanyalah milik Allah SWT, Tuhan seluruh alam, atas anugerah kenikmatan-kenikmatan-Nya kepada rasul-rasul-Nya dan kepada orang-orang yang taat. Ia yang menjatuhkan siksaan bagi orang-orang kafir dan rusak. Ini menunjukkan bahwa pemusnahan orang-orang yang merusak adalah bentuk nikmat dari Allah SWT dan bahwa dalam setiap kesengsaraan dan kepedihan terdapat pelajaran dan nasihat. Sesungguhnya, tenggelam dalam kemewahan hidup merupakan istidraj dan permulaan adzab. Sesungguhnya, berdzikir kepada Allah SWT adalah sebuah keharusan dalam setiap perkara.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Uqbah bin Amir dari Nabi saw. bersabda,

"Jika kalian melihat seorang hamba yang diberikan oleh Allah SWT sesuatu yang ia inginkan dari dunia atas kemaksiatan yang ia lakukan, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj." (HR Imam Ahmad).

Kemudian, Rasulullah saw membacakan ayat, (فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِۦ فَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ أَبۡوَٰبَ كُلِّ شَيۡءٍ) sampai akhir ayat.

Dalam sebuah riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi tentang bab iman disebutkan,

"Jika kamu melihat Allah SWT memberikan kepada seorang hamba sesuatu yang ia sukai dari dunia, padahal dia selalu melakukan maksiat, maka hal itu merupakan istidraj." (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Adapun orang Mukmin tidak akan terpedaya (lengah) dengan kenikmatan dan akan bersabar saat mendapat cobaan. Imam Muslim meriwayatkan dalam hadits marfu dari Shuhaib,

"Sungguh mengagumkan perkara orang Mukmin, semua perkaranya itu baik, dan hal tersebut hanya ada pada diri orang Mukmin. Ketika ia mendapat kesenangan ia akan bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya, dan ketika ia tertimpa kesengsaraan ia bersabar dan itu adalah kebaikan baginya!' (HR Muslim).

Ayat (Qul araoitukum) merupakan hujjah tak terbantahkan bagi orang-orang musyrik. Ayat ini sebuah perumpamaan bagus yang digunakan dalam berargumentasi dengan mereka. Di saat tertimpa musibah, mereka mengadu kepada Allah dan pada hari Kiamat mereka akan kembali kepada-Nya. Lantas, mengapa kemusyrikan ini terus terjadi pada saat kondisi mereka sejahtera? Padahal, pada saat mereka sedang kesulitan, mereka meninggalkan berhalanya dan menyeru kepada Allah SWT agar menghilangkan adzab dari mereka? Semua ini menunjukkan adanya pengakuan dari mereka terhadap Allah SWT.

Di antara wujud sifat belas kasih Allah SWT kepada hamba-Nya adalah adanya peringatan dari Allah mengenai kondisi umat-umat terdahulu yang bisa diambil pelajaran dan nasihat. Sesungguhnya, Allah SWT mendidik hamba-hamba-Nya dengan kesengsaraan (harta benda) dan kesulitan (yang menimpa badan) serta dengan apa saja yang dikehendaki oleh-Nya,

"Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya." (al-Anbiyaa':23).

Hal ini supaya mereka kembali kepada Allah SWT serta berpaling dari kekafiran dan kemaksiatan sehingga mereka sadar.

Akan tetapi, pada umumnya, kedurhakaan selalu mengiringi kekafiran. Oleh karena itu, Allah SWT mencela orang kafir yang yang tidak mau berdoa dan menginformasikan bahwa mereka tidak tunduk saat diturunkannya adzab. Boleh jadi, mereka berdoa, namun tanpa disertai keikhlasan atau mereka berdoa pada saat terkena adzab dan pada saat itu hal ini tidak ada gunanya bagi mereka.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa berdoa diperintahkan saat kondisi lapang atau sempit. Allah SWT berfirman,

"Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina."' (al-Mu'min: 60).

Ini adalah sebuah ancaman yang teramat nyata.

Adapun adanya kedurhakaan orang kafir ditunjukkan dalam firman Allah SWT , (وَلَٰكِن قَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ) yakni keras kepala dan keras hatinya. Hal ini merupakan ungkapan bagi orang kafir dan orang yang selalu berbuat maksiat. Mereka dalam hal ini terpengaruh oleh syaitan, (وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ) syaitan membujuk dan menggiring mereka pada kemaksiatan.

Kenikmatan yang diberikan kepada seorang hamba bukan bererti hal itu menunjukkan keridhaan Allah SWT. Apabila kenikmatan itu dibarengi dengan kemaksiatan, hal tersebut merupakan istidraj dari Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya,

"Dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh." (al-Qalam:45).

Sebagian ulama ada yang berkata, "semoga Allah memberikan rahmat bagi seorang hamba yang mentadabburi ayat ini, (حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُواْ بِمَآ أُوتُوٓاْ أَخَذۡنَٰهُم بَغۡتَةٗ)." Muhammad bin an-Nadhr al-Haritsi mengatakan bahwa Allah SWT menangguhkan kaum-kaum ini sampai dua puluh tahun. Hasan al-Bashri mengatakan "Demi Allah, tidak ada seorang manusia pun yang diberi kelapangan duniawi oleh Allah SWT lalu ia tidak memiliki kekhawatiran bahwa hal itu adalah ujian dari Allah, kecuali amalnya akan menurun dan akalnya menjadi lemah. Tidaklah Allah menahan pemberian kepada hamba, lalu ia tidak memiliki anggapan bahwa di dalamnya ada sebuah kebaikan, kecuali amalnya akan menurun dan akalnya menjadi lemah.”

Sesungguhnya, kehancuran dan kebinasaan suatu kaum dalam pengetahuan kita merupakan hal yang menyedihkan, namun dalam takdir Allah SWT hal itu merupakan suatu pelajaran dan nasihat yang baik agar kerusakan tidak semakin merajalela.

Ayat (فَقُطِعَ دَابِرُ ٱلۡقَوۡمِ) mengandung kewajiban untuk meninggalkan kezaliman karena kezaliman selalu mendatangkan penderitaan. Ayat ini juga mengandung kewajiban untuk memuji kepada Allah SWT yang telah menghukum kezaliman agar kerusakan tidak terus berlanjut dan agar unsur kebaikan bisa tegak berdiri.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil daripada tajuk ini ialah:

1. Allah SWT mengatakan bahwa Dia adalah Zat Yang Mahakuasa yang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Ia Maha Mengatur ciptaan-Nya sesuai dengan keinginan-Nya, dan bahwa tidak ada penghalang apa pun yang boleh menyekat-Nya. Tiada seorang pun yang mampu menghindarkan hukum-Nya dari ciptaan-Nya, bahkan Allah SWT adalah Zat Yang Esa tiada sekutu bagi-Nya. Dia akan mengabulkan permintaan siapa saja yang Ia kehendaki.

2. Apabila Allah memberi cobaan dan ujian, ketika itu mereka menyeru kepada Allah, namun apabila Allah selamatkan mereka dari bahaya mereka Kembali ingkar (Luqman(31):32).

3. Pada dasarnya pada diri setiap manusia sudah ada fitrah ketauhidan, terserah kepadanya sama ada menyelusuri fitrah itu atau menyangkalnya. Berbahagialah yang berpaut kepada fitrah itu dan merugilah siapa yang menafikannya.

4. "Sungguh mengagumkan perkara orang Mukmin, semua perkaranya itu baik, dan hal tersebut hanya ada pada diri orang Mukmin. Ketika ia mendapat kesenangan ia akan bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya, dan ketika ia tertimpa kesengsaraan ia bersabar dan itu adalah kebaikan baginya!.” (HR Muslim).

5. Pada dasarnya manusia beriman akan taat kepada Allah SWT dalam segala perintah-Nya, namun disebabkan bujukan dan rayuan syaitan mereka kadang-kadang mereka termakan dengan hasutan syaitan tersbut. Siapa yang Allah lindungi, dia akan segera bertaubat.

Semoga kita mencari fakta yang benar dan tidak menyeleweng fakta yang Allah turunkan melalui al-Quran. Aamiin!!!...

Rujukan: Tafsir Al-Munir Jilid 4 - Juzuk 7 & 8 (Bahasa Indonesia), dari mukasurat 187 hingga 192.

Dr. Ismail Abdullah, Teras Jernang, Bandar Baru Bangi, 17-09-2022.

Friday 16 September 2022

KASIH SAYANG ALLAH MELEBIHI MURKA-NYA

Di antara sifat Pencipta-Zat yang kita merasa tenteram berada di dalam ketaatan kepada-Nya-adalah sifat kasih sayang. Allah SWT mewajibkan diri-Nya untuk merahmati makhluk-Nya.

Di antara wujud dari kasih sayang-Nya adalah pengumpulan makhluk pada hari Kiamat untuk memberikan pahala dan siksa. Sebabnya, ketika manusia mengetahui bahwa dia akan mendapatkan sesuatu di akhirat nanti, dia akan melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan. Jadi, adanya rangsangan yang semacam ini adalah cara untuk mendidik manusia dan sebagai bentuk kasih sayang terhadap para hamba. Kalau saja tidak ada rasa takut pada adzab hari Kiamat, pasti dunia ini akan penuh dengan kerusakan, kekacauan dan kejahatan. Ia akan mengalami kegaduhan dan kerusakan pada sistem sosial.

Dengan demikian, adanya suatu ancaman yang seperti ini menjadi wujud dari rahmat Allah. Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

"Sesungguhnya ketika Allah menciptakan makhluk, Ia menulis tulisan di atas Arsy: 'Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku."' (HR Bukhari dan Muslim).

Maksud dari hadits di atas ialah ketika Dia menampakkan qadha-Nya dan menunjukkannya kepada siapa pun apay yang Dia kehendaki. Dia memperlihatkan tulisannya yang ada di Lauh Mahfuzh atau di tempat yang dikehendaki. Isi dari tulisan itu ialah berita kebenaran dan janji yang pasti bahwa rahmat-Nya mendahului dan mengalahkan murka-Nya.

Secara khusus bahwa orang-orang yang merugikan dirinya sendiri ialah mereka yang menjerumuskan diri mereka ke dalam kerusakan, tidak menggunakan akal dan ilmu, serta tidak mengambil pelajaran dari peringatan yang ada, sebagaimana Alah menyebutkan secara khusus bahwa merekalah orang-orang yang tercela dan terhina di antara seluruh manusia pada hari Kiamat.

Penyebab dari kerugian itu adalah tiadanya iman di dalam diri mereka, ertinya mereka tidak meyakini adanya hari kebangkitan dan hari akhir serta tidak takut pada adzab di hari itu. Namun, di dalam ayat ini Allah menjadikan hilangnya keimanan dari diri mereka sebagai akibat dari sikap mereka yang merugikan diri mereka sendiri, padahal faktanya adalah sebaliknya. Terkait hal ini, az-Zamakhsyari mengatakan bahwa makna ayat di atas adalah orang-orang yang merugikan diri mereka-sesuai dengan ilmu Allah-adalah kerana mereka memilih kekufuran dan mereka tidak beriman.

Di dalam al-Qur’an dinyatakan lima ayat yang sangat jelas mengenai kasih sayang Allah dan juga balasan bagi mereka yang engkar,

Bertanyalah (wahai muhammad): "Hak milik siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?" Katakanlah: "(Semuanya itu) adalah milik Allah. Ia telah menetapkan atas diriNya memberi rahmat. Demi sesungguhnya Ia akan menghimpunkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada sebarang syak padanya". Orang-orang yang merugikan diri sendiri (dangan mensia-siakan pengurniaan Allah), maka mereka (dengan sebab yang tersebut) tidak beriman. (Al-An’aam (6) : 12).

Dan bagi Allah jualah apa yang ada pada waktu malam dan siang; dan Dia lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-An’aam (6) : 13).

Katakanlah (wahai Muhammad): "Patutkah aku mengambil (memilih) pelindung yang lain dari Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan Ia pula yang memberi makan dan bukan Ia yang diberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama sekali menyerah diri kepada Allah (Islam), dan (aku diperintahkan dengan firmanNya): `Jangan sekali-kali engkau menjadi dari golongan orang-orang musyrik itu.'" (Al-An’aam (6) : 14).

Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut jika aku derhaka kepada Tuhanku, (akan dikenakan) azab hari yang besar (hari kiamat)". (Al-An’aam (6) : 15).

Sesiapa yang dijauhkan azab daripadanya pada hari itu, maka sesugguhnya Allah telah memberi rahmat kepadanya; dan itulah kejayaan yang jelas nyata. (Al-An’aam (6) : 16).

Ayat-ayat ini menegaskan keterangan yang terdapat pada ayat sebelumnya mengenai penetapan tiga pokok agama, iaitu pertama, pembuktian keberadaan dan keesaan Allah; kedua, penetapan adanya hari kebangkitan; hari akhir dan ketiga, pembalasan amal; serta pengakuan akan kenabian dan risalah Muhammad saw.. Hal itu dilakukan dengan cara pemaparan dalil-dalil yang menunjukkan tiga pokok agama tersebut dengan metode tanya jawab. Ini adalah metode lain dalam rangka mengukuhkan aqidah dalam hati dan menarik perhatian orang lain supaya tidak bosan.

Jika terbukti bahwa Allah SWT adalah pencipta dan yang membuat langit dan bumi beserta semua yang bergerak dan yang diam di langit dan bumi, hal ini menandakan bahwa Dia Mahakuasa untuk menciptakannya kembali, mengumpulkan, dan membangkitkannya.

Ini juga membuktikan bahwa Dia (Allah) adalah Maharaja yang mesti ditaati, Zat yang berkuasa untuk memerintah dan melarang hamba-Nya. Oleh karena itu, harus ada orang yang menyampaikan pesan ini dan itulah tugas seorang nabi. Dengan demikian, pengutusan para nabi dan rasul oleh Allah SWT kepada makhluk adalah hal yang bersifat wajib. Dengan demikian, ayat ini sudah cukup untuk membuktikan tiga asas di atas.

Pada dasarnya, orang-orang musyrik, ketika ditanya kepunyaan siapa langit dan bumi, kepunyaan siapa alam, makhluk, dan semua yang ada di dalamnya? Pertanyaan ini sebagai celaan dan penghinaan kepada mereka. Sebabnya, mereka meyakini bahwa Allah adalah Maha Pencipta, sebagaimana firman Allah,

"Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, Allah."' (Luqmaan:25).

Kerajaan langit dan bumi bukanlah sekadar kerajaan yang kosong, tetapi ia adalah kerajaan yang mencakup segala sesuatu yang ada di antara keduanya baik yang diam maupun yang bergerak. Semuanya adalah hamba dan makhluk-Nya serta berada di bawah kekuasaan, perlakuan, dan pengaturan-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia. Ia menyebutkan secara khusus sesuatu yang diam di waktu malam dan siang meskipun ia masuk dalam makna apa yang di langit dan apa yang di bumi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pengaturan Allah SWT juga meliputi hal-hal yang samar.

Semua yang ada di langit dan di bumi tunduk pada pengawasan Allah dan perlakuan-Nya. Dialah Yang Maha Mendengar yang pendengaran-Nya meliputi semua yang kecil dan besar. Dia mendengar jalannya semut hitam di malam yang kelam, di atas batu besar lagi keras. Dia juga Maha Mengetahui, ilmu-Nya meliputi semua yang kecil dan yang besar. Pendengarannya meliputi semua yang bisa didengar seperti ucapan dan suara hamba-hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi semua yang bisa diketahui, seperti gerakan-gerakan makhluk dan rahsia-rahsia mereka. Semuanya ini menghendaki adanya pengawasan Ilahi dan pengelolaan yang sempurna terhadap segala sesuatu.

Kemudian, Allah memerintahkan Nabi-Nya -yang merupakan utusan yang menyampaikan syari'at-Nya-sebuah perintah sebagai bentuk akibat dari apa yang telah di jelaskan sebelumnya. Allah SWT berfirman kepadanya, "Katakan wahai Muhammad, 'Aku tidak menjadikan sesuatu sebagai pelindung, penolong yang dapat memberiku manfaat atau menolak bahaya, kecuali hanya Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah pencipta langit dan bumi tanpa ada yang dapat setara dengan-Nya."' Ini sama seperti firman Allah SWT,

"Katakanlah (Muhammad), Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?"' (az-Zumar: 64).

Adapun penciptaan langit dan bumi, ia sebelumnya berupa kumpulan asap yang kemudian terpisah. Ini juga termasuk dalam makna kata fathara dan syaqqa. Allah SWT berfirman,

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya." (al-Anbiyaa':30).

Allah juga Zat yang memberi rezeki dan menutup pintu rezeki tersebut. Dialah yang memberi nikmat kepada makhluk-Nya, tanpa ada rasa perlu kepada mereka sebab Allah SWT jauh dari sifat perlu kepada semua selain dari-Nya, sebagaimana firman Allah SWT,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan ogar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh." (adz-Dzaariyyaat:56-58).

Di sini, ada isyarat yang jelas yang mengarahkan manusia agar mereka mencari rezeki dari Allah SWT semata, disertai dengan upaya mencari jalan menuju pintu rezeki tersebut, baik dengan usaha, bekerja, melakukan pengelolaan, penelitian, maupun latihan, bukan dengan meminta kepada selain Allah, baik dia manusia, berhala, maupun patung. Sama saja apakah ia adalah pemimpin atau tidak sebab semua rezeki hamba ada di tangan Allah SWT semata.

Jika telah jelas bagimu-wahai Muhammad dan orang-orang selain kamu-dalil-dalil yang menunjukkan pada Zat yang berhak menjadi Tuhan, disembah, dan dijadikan pelindung, katakan kepada mereka, "sesungguhnya aku diperintahkan oleh Tuhanku yang memiliki sifat-sifat ini agar aku menjadi orang yang pertama kali pasrah, tunduh merendahkan diri, dan taat kepada-Nya." Aku juga dilarang untuk menyekutukan Allah dalam bentuk apa pun, di antaranya adalah syirik ala Jahiliyyah yang menjadikan berhala sebagai jalan dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menginformasikan balasan bagi orang yang menyalahi perintah dan larangan di atas. Allah berfirman, (قُلۡ إِنِّيٓ أَخَافُ) Katakan kepada mereka, "Sesungguhnya aku takut tertimpa adzab pada hari yang sangat mengerikan dan menakutkan jika aku mendurhakai Allah.” Hari Kiamat yang Allah akan menghisab para makhluk dengan hisab yang keras atas amal perbuatan mereka dan akan membalas mereka dengan balasan yang setimpal. Itulah hari ketika manusia tidak memiliki kuasa apa pun untuk dirinya. Semua perkara pada hari itu adalah milik Allah. Jika peringatan ini diarahkan kepada Nabi utusan Allah, bagaimana dengan manusia yang lain? Siapa yang dapat menolak adzab dari mereka pada hari itu? Allah SWT telah merahmati Nabi dan menyelamatkannya dan itu adalah keberuntungan yang besar yang tidak ada keberuntungan yang lebih mulia dari itu, sebagaimana firman Allah SWT,

"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh, dia memperoleh kemenangan." (Ali-Imraan:185).

Yang dimaksud dengan kemenangan ialah diperolehnya keuntungan dan terhindar dari kerugian.

Ayat-ayat ini mengukuhkan pokok-pokok aqidah yang mencakup tauhid, hari kebangkitan, balasan, dan kenabian. Ini adalah dalil-dalil yang dijadikan sebagai hujjah untuk membungkam orang-orang musyrik yang ingkar. Pertama-tama dengan menampilkan pengakuan akan adanya Allah yang mereka mengakui hal itu dan mengakui bahwa pencipta langit dan bumi adalah Allah. Kalaupun mereka tidak mengakui hal itu, ada hujjah yang akan membantah pengingkaran mereka.

Jika telah nyata bahwa apa yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah SWT dan Dia adalah pencipta semuanya, baik berdasarkan pengakuan dari mereka maupun dengan adanya hujjah kepada mereka, dengan begitu, Allah SWT juga berkuasa untuk menyegerakan turunnya siksa dan membangkitkan mereka kembali setelah mati. Namun, Allah SWT telah menetapkan rahmat (kasih sayang) atas diri-Nya sebagai bentuk anugerah dan kurnia dari-Nya. Oleh karena itu, Dia memberi penangguhan kepada manusia sampai mereka sadar kembali. Ini adalah bentuk belas kasih dari Allah kepada orang-orang yang berpaling dan tidak mau menyambut-Nya. Selain itu, hal ini adalah penegasan dari-Nya bahwa Dia Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya, tidak menyegerakan hukuman bagi mereka dan menerima taubat mereka.

Di antara bentuk rahmat dari Allah adalah adanya penangguhan sampai hari Kiamat dan pemberian maklumat kepada manusia mengenai pengumpulan mereka pada hari Kiamat untuk memberi pahala bagi orang-orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang durhaka. Peringatan lebih awal itu adalah rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya sebab ketika mereka mengetahui bahwa mereka tidak boleh lepas dari hisab, mereka akan berfikir; memperbaiki amal, dan memperbaiki keimanan mereka.

Kemudian, Allah mencela orang-orang yang merugi, iaitu mereka yang tidak peduli terhadap apa yang dikehendaki oleh ilmu dan akal sehat berupa keimanan dan sikap istiqamah dalam agama dan syari'at Allah. Orang-orang yang merugi itu-karena telah memilih sikap kufur-adalah orang-orang yang tidak beriman.

Jika dalil-dalil yang menunjukkan adanya Tuhan sudah jelas, setiap manusia wajib untuk menyembah-Nya dan menjadikan-Nya sebagai pelindung dan penolongnya dalam rangka merealisasikan kemaslahatan dan melindungi diri dari bahaya, serta pasrah dan tunduk kepada perintah-perintah-Nya. Dialah yang memberi rezeki dan memberi makan. Dialah yang memberikan kurnia bukan yang penerima kurnia. Selain itu, semua manusia dilarang melakukan kemusyrikan dan menjadikan sekutu dan perantara antara dirinya dan Allah.

Setiap manusia wajib memiliki rasa takut kepada adzab Allah pada hari Kiamat sebab ia adalah adzab yang pedih. Barangsiapa yang selamat darinya, dia telah diliputi rahmat dan pertolongan dari Allah. Ini adalah keberuntungan dan keselamatan terbesar bagi manusia. Ya Allah, jadikanlah diriku, keturunanku, bapakku, ibuku, keluargaku, dan guru-guruku termasuk orang-orang yang beruntung.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil daripada kuliah ini ialah:

1. Ditetapkan tiga (3) asas agama iaitu pertama, pembuktian adanya Allah dan ke-Esaan-Nya, kedua, penetapan adanya hari kebangkitan (akhirat) dan pembalasan amal, dan ketiga, pengakuan kenabian dan risalah Nabi Muhammad SAW.

2. Persoalan berikutnya ialah bagaimana menyakinkan umat manusia terhadap ketiga-tiga asas agama (dasar) tersebut bagi menguatkan aqidah dan keimanan mereka kepada Allah SWT.

3. Orang-orang musyrik pun tahu bahwa yang menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antaranya adalah Allah SWT. Mereka perlu diberikan bukti-bukti dan dalil-dalil bagi memperlihatkan bahwa Zat yang Maha berkuasa, dan Maha mengetahui ialah Allah SWT.

4. Risalah yang ingin Allah SWT sampaikan kepada manusia dikuatkan lagi dengan mengutus para nabi dan rasul yang ikhlas berjuang kerana Allah. Para nabi dan rasul dibekalkan dengan mukjizat yang sesuai dengan zaman mereka bagi menyakinkan umat tentang Zat yang Maha berkuasa itu.

5. Para nabi dan rasul juga mengingatkan kepada yang engkar bahwa pada hari akhirat disediakan siksaan bagi yang menolak ajaran para nabi dan rasul sementara yang beriman akan mendapat balasan yang setimpal dengan amalan mereka.

6. Jika manusia beriman bermakna dia sudah menemui jalan yang baik dan jika dia menolak maka kerugian dari penolakan itu tertimpa atas diri mereka sendiri. Kekufuran mereka tidak sedikit pun mempengaruhi orang-orang yang beriman dan Allah SWT.

7. Allah SWT tidak dapat menerima sama sekali orang-orang yang mensyirikkan Allah SWT dengan sesuatu yang lain yang penuh dengan kelemahan. Perbuatan syirik sebenarnya menyerlahkan kebodohan umat manusia terhadap konsep dan ciri-ciri Allah yang sebenarnya yang terkandung dalam ayatul kursi.

Kredit: Tafsir Al-Munir Jilid 4 - Juzuk 7 & 8 (Bahasa Indonesia), dari mukasurat 148 hingga 154. Dr Ismail Abdullah, Teras Jernang, 16-9-2022.

Wednesday 18 May 2022

MENGENAI MAKSIAT HATI

Penerbit Zaman (Jakarta) pada tahun 2016 telah mengumpulkan karya Imam Al-Ghazali dari enam makalah iaitu ar-Risalah al-Wa’zhiyyah, Bidayah al-hidayah, al-Adab fi ad-Din, Minhaj al-‘Arifin, Kuldhashah at-Tashnif fi at-Tashawuff, al-Mawa’izh fi al-Ahadits al-Qudsiyyah menjadi sebuah buku yang bertajuk, “Jalan Orang Bijak”.

Buku setebal 332 mukasurat mengandungi empat (4) bab yang masing-masing mempunyai pecahan-pecahan tersendiri. Buku ini diakhiri dengan Bab 5 (Rangkuman karya-karya tasawuf) dan Bab 6 (Nasihat-Nasihat). Semua huraian di dalamnya sangat menarik untuk dikupas.

Elok pada pendapat cetusan minda, kita kupas mengenai maksiat hati yang banyak berlaku ketika ini.

Perkara yang lebih detail terkandung dalam kita Imam Al-Ghazali yang sangat tersohor, Ihya’ Ulumuddin, Ketika beliau membahaskan tajuk, “Hal-hal yang boleh menyelamatkan”.

Ada tiga penyakit hati yang utama iaitu dengki, riya’ dan ujub. Imam Al-Ghazali mencadangkan kita menghapuskan terlebih dulu tiga penyakit utama ini sebelum menghapuskan penyakit-penyakit hati yang lain.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thabrani, Nabi SAW bersabda, “Ada tiga hal yang menghancurkan: kedekut yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti, dan bangga terhadap diri sendiri”.

Tiga (3) perkara yang membinasakan adalah:

1. Kebakhilan dan kerakusan,

2. Hawa nafsu yang diikuti, dan

3. Seseorang yang membanggakan diri sendiri.

1. Kebakhilan dan kerakusan

Orang yang memiliki sifat buruk ini akan terlalu bergantung pada harta sehingga enggan untuk berinfak atau mengeluarkan hartanya di jalan yang wajib atau pun di jalan yang disunnahkan.

Bahkan sifat “kedekut” ini dapat mengantarkan pada pertumpahan darah, menghalalkan yang haram, berbuat zhalim, dan berbuat tindak maksiat.

Sifat “kedekut” ini benar-benar akan membawa kepada keburukan, bahkan kehancuran di dunia dan akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW memperingatkan bahwa penyakit itulah sebab kehancuran.

2. Hawa nafsu yang diikuti

Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar tunduk terhadap syari’at Allah Azza wa Jalla. Adapun secara istilah syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari’at.

Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak mendahulukan ridha Allah dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa nafsu menjadi kayu ukurnya.

Maka untuk selamat, orang yang mengikuti hawa nafsu mesti membiasakan dirinya untuk takut kepada Allah Azza wa Jalla sehingga akan menghentikannya dari mengikuti hawa nafsunya. Demikian juga perlu diamalkan dengan ilmu dan zikir.

Wajib bagi setiap mukmin mencintai segala yang Allah cintai sehingga mesti baginya melakukan perkara yang wajib. Jika kecintaannya bertambah, ia menambah lagi dengan melakukan amalan sunnah. Itulah tambahan untuknya.

Begitu pula wajib bagi setiap Muslim membenci segala yang Allah benci sehingga sudah selayaknya baginya menahan diri dari segala perkara yang haram. Rasa bencinya ditambah lagi dengan meninggalkan hal yang makruh (makruh tanzih).

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Seorang hamba tidaklah beriman hingga aku lebih ia cintai dari keluarga, harta, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim no. 44).

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Asas agama (Islam) adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”

3. Seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Ujub (bangga diri) artinya ialah perhatian seseorang kepada dirinya dengan pandangan yang sempurna, tetapi lupa kepada nikmat Allah, karena meremehkan orang lain adalah kibr yang tercela. Demikian dinukil ibnu hajar dari Al-Qurthubi. Seorang penyair berkata : Jauhilah penyakit ujub, sesungguhnya penyakit ujub akan mengheret amalan pelakunya ke dalam aliran deras arusnya.

Sesungguhnya racun ujub akan mengantarkan pelakunya kepada penyakit-penyakit kronik lainnya, seperti:

• Lupa untuk bersyukur kepada Allah, bahkan malah mensyukuri diri sendiri, seakan-akan amalan yang telah dia lakukan adalah karena kehebatannya.

• Lenyap darinya sifat tunduk dan merendah di hadapan Allah yang telah menganugerahkan segala kelebihan dan kenikmatan kepadanya.

• Terlebih lagi lenyap sikap tawadhu’ di hadapan manusia. • Bersikap sombong (merasa tinggi) dan merendahkan orang lain, tidak mau mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Jiwanya senantiasa mengajaknya untuk menyatakan bahwasannya dialah yang terbaik, dan apa yang telah diamalkan oleh orang lain merupakan perkara yang biasa yang tidak patut untuk dipuji. Berbeza dengan amalan dan karya yang telah ia lakukan maka patut untuk dipuji.

Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.”

Semoga kita tetap berusaha memperbaiki hati setiap masa supaya apabila kita Kembali kepada Allah, maka hati kita ialah hati yang salim (selamat) dari segala dosa dan maksiat. Aamiin…

DrIsbah, Teras Jernang, 18-5-2022.

Rujukan:

[1] Imam Al-Ghazali, “Jalan Orang Bijak”, Zaman, Jakarta (2016).

[2] https://telisik.id/news/3-perkara-yang-dapat-membinasakan-seorang-muslim.

AKAL DAN KEMAMPUAN BERADA DI HATI.

Penerbit Zaman (Indonesia) pada tahun 2016 telah mengumpulkan karya Imam Al-Ghazali dari enam makalah iaitu ar-Risalah al-Wa’zhiyyah, Bidayah al-hidayah, al-Adab fi ad-Din, Minhaj al-‘Arifin, Kuldhashah at-Tashnif fi at-Tashawuff, al-Mawa’izh fi al-Ahadits al-Qudsiyyah mejadi sebuah buku yang bertajuk, “Jalan Orang Bijak”.

Buku setebal 332 mukasurat mengandungi empat (4) bab yang masing-masing mempunyai pecahan-pecahan tersendiri. Buku ini diakhiri dengan Bab 5 (Rangkuman karya-karya tasawuf) dan Bab 6 (Nasihat-Nasihat). Semua huraian di dalamnya sangat menarik untuk dikupas.

Pada cetusan minda kali ini, saya tertarik untuk mengupas mengenai maksiat hati.

Dalam sebuah hadits dari An Nu’man bin Basyir ra., Nabi SAW., bersabda yang maksudnya,

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengisyaratkan bahwa baiknya amalan badan seseorang dan kemampuannya untuk menjauhi keharaman, juga meninggalkan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya), itu semua tergantung pada baiknya hati. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210.

Para ulama berpendapat, walaupun hati (jantung) itu kecil dibandingkan dengan bahagian tubuh yang lain, namun baik dan buruknya jasad tergantung pada hati. (Lihat Syarh Muslim, 11: 29).

Para ulama berkata bahwa hati adalah malikul a’dhoo (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya). Lihat Jaami’ul ‘Ulum, 1: 210.

Hadits ini juga merupakan dalil bahwa akal dan kemampuan memahami, pusatnya adalah di hati. Sumbernya adalah di hati, bukan di otak (kepala). Demikian disimpulkan oleh Ibnu Batthol dan Imam Nawawi rahimahullah.

Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud baiknya hati, berikut pendapat yang ada:

1. Yang dimaksud baiknya hati adalah rasa takut pada Allah dan siksanya.

2. Yang dimaksud adalah niat yang ikhlas karena Allah, ia tidak melangkahkan dirinya dalam ibadah melainkan dengan niat mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah, dan ia tidak meninggalkan maksiat melainkan untuk mencari ridho Allah.

3. Yang dimaksud adalah rasa cinta pada Allah, juga cinta pada wali Allah dan mencintai ketaatan.

Intinya, ketiga makna ini semuanya dimaksudkan untuk baiknya hati. Demikian penjelasan, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 68-69.

Menurut, Syaikh Sholih Al-Fauzan, semoga Allah memberkahi umur beliau dalam kebaikan dan ketaatan mengatakan, “Baiknya hati adalah dengan takut pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati itu rusak, iaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 109).

Karenanya, yang sering Nabi SAW, minta dalam do’anya adalah agar hatinya terus dijaga dalam kebaikan. Beliau sering berdo’a,

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi SAW, menjawab, “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun boleh menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3: 257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat sesuai syarat Muslim).

Syaikh Sholih Al Fauzan mengutarakan bahwa rusaknya hati adalah dengan terjerumus pada perkara syubhat, terjatuh dalam maksiat dengan memakan yang haram. Bahkan seluruh maksiat boleh merusak hati, seperti dengan memandang yang haram, mendengar yang haram. Jika seseorang melihat sesuatu yang haram, maka rusaklah hatinya. Jika seseorang mendengar yang haram seperti mendengar nyanyian dan alat musik, maka rusaklah hatinya. Hendaklah kita melakukan segala yang baik agar baik hati kita. Namun baiknya hati tetap di tangan Allah. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyah, hal. 110.

Moga setiap langkah kita senantiasa berada di atas kebaikan.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku tidaklah memandang dengan pandanganku, tidak pula mengucap dengan lisanku, begitu pula tidak menyentuh dengan tanganku, dan tidak bangkit untuk melangkahkan kakiku melainkan aku melihat terlebih dahulu apakah ini semua dilakukan karena ketaatan ataukah maksiat. Jika dalam ketaatan, barulah aku mulai bergerak. Jika dalam maksiat, aku pun enggan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 213).

Dalam Al-Qur’an, keadaan hati manusia digambarkan dalam beberapa cara. Misalnya, hati yang tenteram, kerana beriman dan selalu mengingat Allah SWT. "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (Ar-Ra'd: 28).

Ketenteraman hati manusia akan memandu manusia kepada kebaikan dan menghidarinya dari keburukan.

Ada pula hati yang bersih karena seseorang selalu beribadah dengan niat tulus mencari ridha Allah (Asy-Syu'ara':89). Selanjutnya, hati yang berpenyakit. Ini disebabkan kebiasaan berdusta dari orang yang memilikinya. Mereka adalah orang-orang munafik, yang menampakkan kesalehan di hadapan orang beriman dan menyembunyikan kekafiran dalam hatinya. Siksaan yang pedih merupakan balasan bagi mereka (Al-Baqarah: 10).

Kupasan mengenai hati dan kemaksiatan yang timbul dari hati sangatlah luas. Punca segala kerusakan yang berlaku di dunia ini ialah kerana rusaknya hati. Tindak tanduk manusia dikendalikan sepenuhnya oleh hati. Sebab itulah Pendidikan yang paling baik ialah mendidik hati dan akal budi. Ini sangat sesuai dengan petikan al-Qur’an dan tuntunan dari hadits Nabi Muhammad SAW.

Semoga kita tetap berusaha memperbaiki hati setiap masa supaya apabila kita Kembali kepada Allah, maka hati kita ialah hati yang salim (selamat) dari segala dosa dan maksiat. Aamiin…

DrIsbah, Teras Jernang, 18-5-2022

Rujukan:

[1] https://rumaysho.com/3028-jika-hati-baik.html

[2] https://www.republika.co.id/berita/qa64zi458/penggambaran-hati-manusia-dalam-alquran.

Thursday 17 March 2022

PRINSIP CHI (QI) PADA KEDINAMIKAN MANUSIA

Prinsip Yin dan Yang menjadi pegangan kuat kepercayaan kuno orang China selama berabad-abad yang memiliki inti kepercayaan di dalam hukum keseimbangan Yin dan Yang.

Hal ini digambarkan secara jelas dalam I Ching (Kitab Perubahan) yang dimiliki oleh orang China selama berabad-abad. Prinsip Yin Yang ini menekankan akan keharmonian dari alam semesta atau kosmologi (Jung Young Lee, 1996).

Dari prinsip Yin Yang ini muncul energi atau energi “penggerak” dari semua perubahan yang terjadi di dalam alam semesta ini yang disebut dengan “ch’i”. Ch’i inilah yang dianggap nafas atau jiwa manusia yang menjadikan manusia itu hidup dan dinamik.

Konsep pemikiran China tentang Chi dikembangkan oleh para ahli filsuf mereka seperti Lao-tzu, Kong Fu Tzu (Konfusius), Men Zi (Mencius) dan lainnya antara abad enam dan empat sebelum Masehi (Lee, J. Y. 1996). Menurut Kamus Besar China-Indonesia, ch’i (qi) berarti gas, udara, nafas, bau, hawa/cuaca, sikap, semangat, jiwa, kemarahan, dan hina (Mah, 2004).

Menurut Simpkins & Simpkins (2004), kata ch’i sama dengan kata Yunani Pneuma dan kata Sansekerta Prana yang berarti napas, pernapasan, angin, dan spirit yang vital, jiwa. Menurutnya, segala sesuatu di alam semesta, baik yang bergerak dan tidak bergerak, merupakan bagian dari samudra luas ch’i. Segala sesuatu adalah ch’i baik materi padat maupun energy (Kamus Besar China – Indonesia. 1995).

Sedangkan menurut Skinner (2002), “Ch’i, merupakan tenaga yang vital, mengisi dunia pemikiran pengikut filosofi China. Ch’i adalah Tenaga Kosmik yang menghidupkan dan menginfus (memberi nafas) semua hasil cipta alam, memberikan energi kepada manusia, kehidupan kepada alam, pergerakan kepada air dan pertumbuhan kepada tanaman.

Dinamika manusia adalah karena adanya Chi (Qi), sedangkan Ch’i berada di dalam diri orang (Simpkins & Simpkins, 2004).

Menurut Rossbach (1984) ada dua macam Chi (Qi). Dia menyatakan bahwa dalam tulisan Cina Chi membawa dua makna iaitu kosmik dan manusia. Chi kosmik mengandung air, wap, gas, cuaca, dan daya (force). Chi pada manusia pula termasuklah nafas, aura, adab dan tenaga. Kedua-dua jenis Chi ini tidak terpisahkan. Chi pada manusia dipengaruhi oleh langit dan bumi.

Lee (1996) memberikan pengertian Chi bahwa Chi dari segi kosmik dinyatakan sebagai pemikiran Chi, tenaga penting yang merupakan kuasa dan intipati badan. Chi hampir sama dengan ruh, dalam Hebrew dikatakan sebagai “ruach” dan dalam Greek dikatakan sebagai “pneuma” kedua-duanya diterjemahkan sebagai angina atau nafas.

Dari beberapa definisi di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa ch’i dapat diartikan sebagai nafas, angin, roh atau jiwa. Chi ini juga menunjuk kepada nafas atau jiwa manusia dan Ruh Kosmis yang menghidupkan dan memberikan energi di dalam mempertahankan kehidupan di dalam dunia ini.

DrIsbah, Teras Jernang,19-03-2022.

Rujukan

Jung Young Lee, J. Y. 1996. The Trinity in Asian Perspective. Nashville : Abingdon Press.

Kamus Besar China – Indonesia. 1995. Beijing : Pustaka Bahasa Asing, ms. 673.

Mah, Yeow-Beng. 2004. “Living in Harmony with One’s Environment : A Christian Response to Feng Shui” dalam The Asia Journal of Theology Volume 18 No. 2, Oktober 2004, 344.

Rossbach, S. 1984. Feng Shui. London : Rider, ms. 23.

Simpkins, C. A. & Simpkins, Annellen. 2004. Belajar Tao dalam Sepuluh Langkah. Yogyakarta : Ar-ruzsz Media Yogyakarta, ms. 106.

Skinner, S. 2002. Feng Shui.Semarang : Dahara Prize, 2002, ms. 39.

Yun, D. C. 1981. Philosophical Taoisme dalam Dictionary of Living Religions (Ed. Keith Crim; Nashville : Abingdon, ms. 738.

38 NASIHAT IMAM AL-GHAZALI

Dalam buku Imam Al-Ghazali yang bertajul, “Jalan Orang Bijak”, terbitan tahun 2016 oleh Penerbit Zaman, Jakarta Imam Al-Ghazali memberikan kita 38 nasihat.

Buku setebal 332 mukasurat dan berukuran 19cm (Panjang) dan 13cm (lebar) sebaiknya menjadi panduan bagi kita umat Islam agar menjadi panduan hidup di dunia dan mendapat keampunan Allah di akhirat.

Secara ringkas, saya turunkan nasihat-nasihat Imam Al-Ghazali tersebut agarnya ianya menjadi ingatan buat kita bersama.

1. Jangan terlalu leka dengan urusan dunia sehingga lupa akan adanya kematian.

2. Jangan panjang angan-angan. Hiduplah pada dunia nyata dan hadapi reality.

3. Jadilah orang yang kanaah (merasa cukup) dengan pemberian Allah.

4. Rezeki Allah dimakan, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya.

5. Jangan meremehkan taubat. Segera bertaubat apabila melakukan dosa.

6. Manusia dicipta untuk mengabdi diri kepada Allah. Teruskan berada pada jalan Allah.

7. Jangan mengutamakan harta benda dalam hidup, utamakan Allah daripada segala-galanya.

8. Allah mencipta manusia bukan sia-sia, manusia diminta bersabar dalam hidup.

9. Jangan melaknat makhluk kerana laknat itu akan kembali kepada yang melaknat.

10. Berbuat baik dan bersilaturahim dengan semua orang, bukan terhadap orang yang berbuat baik kepada kita saahaja.

11. Jangan tertipu dengan kilauan dunia kerana ianya memang mempersonakan, tetapi tempat kembali yang sebenarnya ialah Allah.

12. Penuhilah janji apabila berbuat janji, jangan sekali-kali ingkar janji yang telah dibuat.

13. Jangan ikuti hawa nafsu kerana hawa nafsu jahat tidak mendekatkan kita kepada Allah.

14. Hampirilah Allah pada setiap Ketika dan jangan sekali-kali durhaka kepada-Nya.

15. Baiki agama setiap masa kerana pahala Allah akan bergantung kepada kekuatan pegangan kita kepada Allah.

16. Dalam menyeru orang lain berbuat baik dan meninggalkan maksiat, maka diri sendiri mestilah terlebih dahulu berbuat demikian.

17. Lakukan apa yang Allah perintahkan dan hindarilah apa yang Allah larang.

18. Mengadu apa-apa masalah hanya kepada Allah dengan memanjatkan doa dan pengampunan.

19. Banyak bersabar dan bersikap tawadhu dalam hidup, pati Allah akan memudahkan jalan-jalan kehidupan kita.

20. Jangan ganggu orang lain, Allah muliakan orang yang baik akhlaknya.

21. Hindari segala dosa walau sekecil mana sekali pun. Hidup akan lebih bahagia apabila kita senentiasa melakukan kebaikan.

22. Belajar kemuliaan daripada orang-orang yang mulia dan memuliakan Allah.

23. Selalulah berzikir kepada Allah, ingat segala nikmat yang telah Allah berikan.

24. Musuhilah syaitan kerana dia adalah musuh yang nyata dalam hidupmu.

25. Anutilah Islam kerana Islam adalah satu-satunya agama yang Allah redhai.

26. Banyakkan bekalan untuk menuju akhirat kerana kematian akan menutup segala pintu berbuat baik.

27. Bayangkan betapa panasnya neraka. Ini akan membuat kita menghindari maksiat dan dosa.

28. Bayangkan betapa indahnya syurga bagi orang-orang yang beriman dan berbuat baik di dunia.

29. Ruh adalah milik Allah, segala apa yang kita dapati di dunia hanyalah pinjaman dari Allah.

30. Jangan mati kecuali dalam kedaan bertakwa kepada Allah dan mengharap balasan syurga dari-Nya.

31. Cinta Allah dan cinta dunia tidak akan pernah Bersatu, oleh itu ambillah dunia untuk keperluan mencintai Allah semata-mata.

32. Bersabarlah sebentar di dunia sementara menunggu kesenangan yang kekal di akhirat.

33. Jangan mencari kemasyhuran melalui amal, buat amal secara ikhlas semata-mata bagi mendapat redha Allah.

34. Berwaspada terhadap amalan yang kita buat, jangan terlalu yakin diterima Allah. Bersifatlah dengan sikap takut dan harapan (khauf wa roja’).

35. Jangan terlalu menerima pujian kerana dalam pujian terselindung rasa ta’jub dan riya.

36. Jangan bermusuh denga utusan Allah (Nabi dan Rasul), siapa yang menentang utusan Allah, maka samalah menentang Allah.

37. Cintailah orang lain seperti mana kamu mencintai dirimu sendiri.

38. Kerjakan kebaikan dan hindari kerja buruk, kerana kerja kebaikan akan mengantar kita ke syurga.

Dekimianlah secara ringkas 38 nasihat Imam Al-Ghazali bagi kebaikan kita semua. Semoga kita dapat melaksanakan semua nasihat yang Imam Al-Ghazali berikan. Aamiin!!!...

DrIsbah, Teras Jernang, 18-3-2022.

Saturday 22 January 2022

HUKUM SEBAB-AKIBAT

Menurut buku Managemen Bisnis Syariah oleh Parakkasi (2021), segala seuatu yang terjadi dan berubah harus ada sebabnya kerana tidak ada sesuatu yang terjadi atau berlaku di dunia ini tanpa adanya sebab.

Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang Allah SWT firmankan berkaitan dengan berjalanlah di muka bumi dan lihatlah akibat daripada orang-orang yang derhaka, kufur terhadap perintah Allah, membunuh para nabi, membuat munkar tanpa batas dan berbagai lagi kerosakan yang mereka lakukan. Allah SWT mengazabkan mereka dengan azab yang sangat pedih di dunia lagi melalui berbagai cara.

Hukum sebab-akibat (The Law of Causality) dihasilkan oleh penggunaan akal rasional manusia sejak manusia boleh berfikir logik. Ianya bukan teori ilmiah yang dihasilkan secara ujikaji. Dalam Hukum Sebab-Akibat prinsip “the order of events” (urutan kejadian) menjadi landasan kepada Hukum Sebab-Akibat.

Dalam kuliah matematik peringkat universiti dan sekarang sudah diajar di peringkat sekolah menengah mengenai “The Theory of Logic” (Teori Asas Logik). Teori ini dijadikan bab pertama dalam kuliah selama satu semester (4 bulan) supaya pelajar terbiasa dengan berfikir logik.

Teori logik ini sangat penting dalam Matematik Konstruktif (Constructive Mathematics) kerana kita yang membentuk matematik tersebut seperti teori set, fuzzy set dan sebagainya. Matematik begini dibina dari awal, dan berkembang secara logik.

Dalam konteks epistemologi, Hukum Sebab-Akibat adalah sumbangan terbesar ahli falsafah idealisma Greek yang bernama Plato. Tanpa prinsip sebab-akibat, maka tak ada teori filsafah, tak ada sains dan teknologi, tak ada teologi, tak ada sejarah, serta aturan-aturan hukum pun menjadi tak bermakna.

Hukum Sebab-Akibat ini juga disebut sebagai Sunnatullah yang terjadi kepada setiap kejadian (events), baik dari kejadian yang sederhana (simple) kepada kejadian yang kompleks (complex). Semua itu Allah SWT telah nyatakan bahwa pada setiap akibat ada penyebabnya.

Dalam bahasa yang mudah, “setiap kejadian merupakan akibat yang timbul dari serangkaian perbuatan yang saling berkaitan yang menjadi penyebab timbulnya akibat.”

Dalam Surah Ar-Ruum (30), ayat 41, Allah SWT berfirman, “Telah timbul berbagai kerosakan dan bala bencana di darat dan di laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleh tangan manusia; (timbulnya yang demikian) kerana Allah hendak merasakan mereka sebahagian dari balasan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka telah lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat).”

Oleh kerana kejahilan manusia dalam mengendalikan urusan persekitaran, masyarakat dan negara maka akibatnya terjadi banjir, kemarau, salah urus kewangan, salah guna kuasa dan sebagainya. Malah dalam memahami kehendak dan syariat Islam pun ada orang terkenal yang tidak dapat membezakan antara agama yang Allah redhai dengan agama-agama syirik sehingga sanggup melakukan ritual agama lain demi meraih simpati dan undi. Ini mala petaka besar kepada masyarakat dan negara.

Kita hanya sekadar mengingatkan bahwa ada tindakan-tindakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkuasa yang akan mengakibatkan kemusnahan alam dan kemanusiaan, namun pihak yang menegur dipersalahkan kerana menggangu mereka mengaut kekayaan negara untuk diri sendiri.

Kita sangat berharap agar mereka yang berkuasa akan sedar terhadap akibat daripada perbuatan mereka yang rakus kuasa dan harta. Nilai kemanusiaan itu lebih penting daripada nilai harta yang diperolehi secara tidak betul.

Semoga Allah SWT menyelamatkan negara kita yang tercinta daripada salah urus negara akan nantinya rakyat marhaen akan menerima akibatnya. Aamiin....

#sunnatullah

#hukumsebabakibat

DrIsbah, Teras Jernang, 22-01-2022

Wednesday 12 January 2022

BENTUK PEMERINTAHAN YANG PATUT DITAATI

Dalam ayat 59, Surah An-Nisaa’ (4), Allah menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu…”

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya - jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya.”(An-Nisaa’(4), ayat 59).

Dalam Tafsir Al-Munir (Jilid 3 - Juzuk 5 & 6, ms. 135 – 144), Prof Wahbah Zuhaili mengupas mengenai tajuk di atas.

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah termaktub dalam Rukun Iman yang wajib diyakini oleh orang-orang yang beriman. Kertas ini hanya membincangkan mengenai bentuk pemerintahan (Ulil Amri) yang patut ditaati. Hal ini menjadi kekeliruan masyarakat secara amnya.

Adapun sebab turunnya ayat ini kita dapati dari nukilan Imam Bukhari melalui riwayat Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais semasa Nabi mengutusnya dalam satu pengintaian perang."

Imam ad-Dawudi berkata, "Keterangan ini tidak sah dan tidak dapat dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, karena Abdullah bin Hudzafah marah dan menyalakan api. Kemudian dia memerintahkan pasukan untuk masuk ke dalam api tersebut. Sebagian pasukan enggan melaksanakan perintah itu dan sebagian yang lain hendak melaksanakannya".

Ad-Dawudi melanjutkan keterangannya, “Apabila ayat ini turun sebelum kejadian tersebut maka bagaimana mungkin perintah ketaatan hanya dikhususkan kepada Abdullah bin Hudzafah. Apabila turun setelah kejadian tersebut, yang tepat untuk dikatakan kepada para pasukan adalah "ketaatan hanya dalam masalah kebajikan," bukannya kata "kenapa kalian tidak taat (kepada pimpinanmu)?"

Ibnu Hajar menjawab keberatan ad-Dawudi tersebut dan menjelaskan bahwa yang ditekankan dalam kisah di atas adalah perbezaan pendapat yang terjadi di antara pasukan. Apakah mereka mesti mengikuti perintah Abdullah bin Hudzaifah untuk masuk ke dalam api atau tidak.

Oleh sebab itu, sangat tepat apabila dalam keadaan seperti ini turun ayat yang memberi petunjuk untuk jalan keluar bagi perbezaan pendapat yang terjadi di antara mereka, iaitu dengan cara merujuk kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya.

Keadilan adalah dasar utama pemerintahan. Dengan keadilan, peradaban, pembangunan, dan kemajuan akan tercapai. Akal manusia pun akan terarah dengan baik apabila keadilan ditegakkan. Dengan demikian, keadilan ditetapkan sebagai salah satu dasar pemerintahan dalam Islam. Dalam suatu masyarakat keadilan merupakan keperluan utama. Dengan keadilan, orang-orang lemah dapat memperoleh haknya dengan tepat dan orang-orang yang kuat tidak akan menganiaya orang-orang lemah sehingga keamanan dan keteraturan sistem dapat terjaga. Agama-agama samawi sepakat dalam masalah kewajiban menegakkan keadilan. Oleh sebab itu, seorang pemimpin dan para pembantunya yang terdiri dari menteri, pegawai dan hakim harus disiplin menegakkan keadilan supaya semua hak dapat terlindungi dan dapat disalurkan.

Banyak ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi yang menerangkan pentingnya menegakkan keadilan. Di antaranya adalah firman Allah SWT, antaranya ialah:

1. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan." (an-Nahl:90).

2. “Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya." (al-An'aam:152).

3. "Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa." (al-Maa'idah:8).

4. "Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil." (al-Maa'idah:8).

5. Allah juga memerintahkan Nabi Dawud untuk berlaku adil, iaitu dalam firman-Nya, "Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil." (Shaad:26).

6. Anas juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, "Umat ini akan terus berada dalam kondisi baik, selagi dalam berbicara mereka selalu jujur apabila menetapkan hukum mereka adil dan selagi dimintai rasa kasih sayang mereka mau memberikan rasa kasih sayang itu."

7. Selain daripada itu Allah juga mengancam kezaliman dan juga orang-orang yang berbuat zalim. Di antaranya adalah dalam firman-Nya, "Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim." (Ibraahiim:42).

8. "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah." (ash-Shaaffaat: 22).

Kemudian Allah memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan perkara yang dapat menyebabkan dia selalu berdisiplin dalam menjaga amanah dan menetapkan hukum secara adil, iaitu taat kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum-Nya, taat kepada Rasul-Nya yang bertugas menerangkan hukum-hukum Allah, dan taat kepada para pemimpin (Ulil Amri). Ini merupakan prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islami.

Siapakah yang dimaksud dengan Ulil Amri? Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri para pemimpin dan penglima perang. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulul-Amri adalah para ulama yang bertugas menerangkan hukum-hukum syara' kepada manusia.

Semua pendapat tersebut adalah benar dan sesuai dengan makna lahiriah ayat. Oleh sebab itu, taat kepada pemimpin politik pimpinan perang, dan pemimpin yang mengatur urusan negara adalah wajib. Begitu juga wajib hukumnya menaati para ulama yang bertugas menerangkan hukum-hukum agama, mendidik rakyat dalam masalah agama dan juga melakukan amar makruf nahi munkar.

Ibnu al-Arabi berkata, “Menurutku, pendapat yang tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud Ulil Amri adalah para pemimpin dan para ulama. Para pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan menetapkan hukuman. Adapun ulama adalah orang yang berkebolehan untuk ditanya (dalam permasalahan agama). Dia wajib menjawab dan fatwanya wajib dilaksanakan."

Ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Ahl al-Halli wa al-Aqdi (sekumpulan pakar yang mempunyai tugas menetapkan aturan atau membatalkannya). Dengan demikian, ayat tersebut menjadi dalil bagi ijma ulama. Apabila ada pertentangan dan perbedaan pendapat antara kalian dengan Ulil Amri dalam masalah agama dan penyelesaiannya tidak ada dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, hendaknya masalah itu dicarikan rujukan dengan berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Pendapat yang sesuai dengan kaidah umum dapat dilaksanakan, sedangkan yang bertentangan dengan kaidah umum tersebut harus ditinggalkan. Cara seperti ini dalam ilmu ushul fiqih diistilahkan dengan prosedur qiyaas.

Penggunaan qiyaas diakui kebenarannya oleh Rasulullah saw. Ketika beliau mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi Qadhi, beliau bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu akan menetapkan hukum jika terjadi suatu permasalahan?" Muaz menjawab, "Saya akan menetapkan hukum dengan berdasar kitab Allah". Kemudian Rasul kembali bertanya, "fika dalam Al-Qur'an tidak ada keterangannya?" Muaz menjawab, "Saya akan putuskan berdasarkan sunnah nabi Allah". Rasul kembali bertanya, 'Apabila tidak ada keterangan baik dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah?" Muaz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak akan mengabaikannya." Kemudian Rasulullah saw. menepuk dada Muaz dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai oleh Rasulullah."

Ayat di atas juga memberi isyarat bahwa apabila perkara yang dipertentangkan tersebut ada aturan hukumnya dalam nash syara' (Al-Qur'an dan Sunnah), pihak-pihak yang bersengketa harus mematuhi aturan yang ada dalam nash syara' tersebut. Namun apabila tidak ada keterangan dalam nash syara', boleh melakukan ijtihad.

Allah memerintahkan umat Islam untuk mencari jalan keluar permasalahan yang dipertentangkan dengan cara mencari dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Itu jika memang umat Islam beriman kepada Allah dan hari akhir. Orang yang benar-benar beriman tidak akan mengutamakan hukum selain hukum yang telah Allah tetapkan. Dalam mengambil keputusan dia juga akan selalu mempertimbangkan efek ukhrawinya dan akan lebih mengutamakan keridhaan Allah daripada kemewahan dunia. Dalam ayat ini juga tersirat satu ancaman Allah kepada orang-orang yang melanggar aturan dan tidak mau menaati Allah serta Rasul-Nya. Yang jelas ayat ini memerintahkan umat Islam untuk mengembalikan semua perselisihan yang terjadi kepada aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga ayat ini senada dengan firman Allah, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (an-Nisaa': 65).

Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, "Barangsiapa taat kepadaku, dia taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku, dia menentang Allah, dan barangsiapa taat kepada amirku maka dia taat kepadaku, dan barangsiapa menentang amirku, maka dia menentangku." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam firman Allah, "Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisaa': 59).

Ada beberapa kesimpulan yang boleh kita ambil, antaranya ialah:

1. Menetapkan hukuman dengan adil. Ayat di atas memang ditujukan kepada para pemimpin dan hakim, yang juga mencakup semua manusia. Abdullah bin Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Di hari Kiamat, orang-orang yang adil akan berada di mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Allah yang Maha Pengasih. Mereka juga akan berada di sebelah kanan orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil terhadap keluarga dan juga terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.”

Rasulullah saw. juga bersabda, "Setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipelihara. Seorang pemimpin adalah bertugas memelihara (rakyatnya), dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai urusan rakyatnya; seorang suami juga bertugas sebagai pemelihara keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai urusan keluarganya; seorang istri juga bertugas memelihara rumah suaminya, dia akan dimintai tanggung jawab atas tugasnya; seorang hamba sahaya bertugas memelihara harta tuannya dan dia akan dimintai tanggung jawab atas tugasnya. Ketahuilah setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas peliharaannya." (HR Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dari lbnu Amr).

Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menjadikan semua orang sebagai pemelihara dan pemimpin sesuai dengan tugas dan tingkatannya. Orang yang pandai juga punya tanggung jawab terhadap tugasnya. Apa yang dilakukan oleh orang alim seperti mengeluarkan fatwa, menetapkan hukum, menerangkan hukum halal dan haram, menjelaskan perkara yang wajib dan sunah, sah dan tidaknya.

Allah SWT adalah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, sebagaimana yang Allah jelaskan, "Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat." (Thaahaa: 46).

Allah mendengar hukuman-hukuman yang diputuskan oleh para hakim, pemimpin dan lain-lain, dan Dia akan membalas keputusan itu. Dia juga melihat apakah seorang hamba menjalankan amanah dengan baik atau mengkhianatinya, dan kemudian Dia akan membalasnya.

2. Setelah Allah memerintahkan para pemimpin dan para hakim untuk menjalankan amanah dengan baik serta menetapkan hukum dengan adil, Allah memerintahkan semua rakyat untuk; pertama, taat kepada-Nya, iaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kedua, taat kepada Rasul-Nya, dan ketiga, taat kepada para pemimpin.

Namun perlu ditegaskan bahwa kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk bermaksiat kepada Allah. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Seorang imam wajib melaksanakan pemerintahan dengan adil dan menjalankan amanah dengan benar. Apabila dia sudah melakukannya, kaum Muslimin wajib menaatinya. Hal ini karena Allah memerintahkan kita untuk menjalankan amanah dengan benar dan juga bersikap adil, kemudian Dia memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin."

Taat kepada ahli Al-Qur'an, ahli llmu, ahli fiqih, dan ulama agama juga wajib hukumnya. Ibnu Kaisan berkata, "Mereka adalah orang yang mempunyai akal dan pendapat untuk mengurus urusan-urusan manusia (masyarakat)." Namun pendapat yang tepat adalah pendapat yang pertama karena ulama merupakan sumber penetapan hukum dan perintah. Sementara itu, akal -meskipun merupakan penopang agama dan kehidupan dunia- tidak sesuai dengan makna lahiriah ayat yang kita bahas.

Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara umat dan pemimpinnya, jalan keluarnya adalah merujuk kepada Al-Qur’an atau kepada Rasulullah -disaat beliau masih hidup, bisa langsung bertanya kepadanya. Namun setelah beliau meninggal, dengan cara melihat sunnahnya. Dengan demikian, ayat ini senada dengan ayat, "(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amry'." (an-Nisaa': 83).

Dan juga sesuai dengan firman Allah, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (an-Nuur:63).

Supaya orang mau merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dalam diri orang tersebut harus ada keimanan kepada Allah dan hari akhir terlebih dahulu. Efek dan akibat yang ditimbulkan dari merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah lebih baik daripada berkelanjutan dalam sengketa dan pertentangan.

3. Melalui ayat ini, para ulama juga menyimpulkan bahwa sumber hukum dalam Islam ada empat, iaitu Al-Qur'an, Sunnah, ijma dan qiyas. Sebagian hukum ada yang diterangkan secara jelas dalam Al-Qur'an atau Sunnah sehingga kita wajib mematuhinya dan ini sesuai dengan firman Allah (‘athiuullaha wa athiuurasula) Yang dimaksud dengan sunnah adalah semua perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasul saw..

Adakalanya juga hukum tersebut merupakan hasil kesepakatan Ahl al-halli wa al-‘Aqdi berdasarkan kepada dalil-dalil syara’ yang mereka gunakan, dan ini sesuai dengan firman Allah (wa ulil amri minkum). Adakalanya hukum tersebut tidak diterangkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan juga tidak disepakati ulama sehingga jalan untuk menetapkannya adalah dengan ijtihad dan qiyas iaitu membahas masalah-masalah yang diperselisihkan dengan berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT, (faaintanaza’tum fii shaiinn farudhuuhu ilallahi wa ar-rasuuli).

Adapun sumber-sumber hukum yang lain seperti istihsaan (yang digunakan oleh madzhab Hanafi), maslahah mursalah (yang digunakan oleh madzhab Maliki) dan istishaab (yang digunakan oleh madzhab Syafi'i) pada hakikatnya sudah tercakup dalam sumber hukum yang empat di atas.

#pemerintahanislam

#pemerintahadil

DrIsbah, Teras Jernang, 14-01-2022.

Rujukan:

Tafsir Al-Munir Jilid 3 - Juzuk 5 & 6, ms. 135 - 144.