Wednesday 12 January 2022

BENTUK PEMERINTAHAN YANG PATUT DITAATI

Dalam ayat 59, Surah An-Nisaa’ (4), Allah menyeru, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu…”

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya - jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya.”(An-Nisaa’(4), ayat 59).

Dalam Tafsir Al-Munir (Jilid 3 - Juzuk 5 & 6, ms. 135 – 144), Prof Wahbah Zuhaili mengupas mengenai tajuk di atas.

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah termaktub dalam Rukun Iman yang wajib diyakini oleh orang-orang yang beriman. Kertas ini hanya membincangkan mengenai bentuk pemerintahan (Ulil Amri) yang patut ditaati. Hal ini menjadi kekeliruan masyarakat secara amnya.

Adapun sebab turunnya ayat ini kita dapati dari nukilan Imam Bukhari melalui riwayat Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais semasa Nabi mengutusnya dalam satu pengintaian perang."

Imam ad-Dawudi berkata, "Keterangan ini tidak sah dan tidak dapat dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, karena Abdullah bin Hudzafah marah dan menyalakan api. Kemudian dia memerintahkan pasukan untuk masuk ke dalam api tersebut. Sebagian pasukan enggan melaksanakan perintah itu dan sebagian yang lain hendak melaksanakannya".

Ad-Dawudi melanjutkan keterangannya, “Apabila ayat ini turun sebelum kejadian tersebut maka bagaimana mungkin perintah ketaatan hanya dikhususkan kepada Abdullah bin Hudzafah. Apabila turun setelah kejadian tersebut, yang tepat untuk dikatakan kepada para pasukan adalah "ketaatan hanya dalam masalah kebajikan," bukannya kata "kenapa kalian tidak taat (kepada pimpinanmu)?"

Ibnu Hajar menjawab keberatan ad-Dawudi tersebut dan menjelaskan bahwa yang ditekankan dalam kisah di atas adalah perbezaan pendapat yang terjadi di antara pasukan. Apakah mereka mesti mengikuti perintah Abdullah bin Hudzaifah untuk masuk ke dalam api atau tidak.

Oleh sebab itu, sangat tepat apabila dalam keadaan seperti ini turun ayat yang memberi petunjuk untuk jalan keluar bagi perbezaan pendapat yang terjadi di antara mereka, iaitu dengan cara merujuk kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya.

Keadilan adalah dasar utama pemerintahan. Dengan keadilan, peradaban, pembangunan, dan kemajuan akan tercapai. Akal manusia pun akan terarah dengan baik apabila keadilan ditegakkan. Dengan demikian, keadilan ditetapkan sebagai salah satu dasar pemerintahan dalam Islam. Dalam suatu masyarakat keadilan merupakan keperluan utama. Dengan keadilan, orang-orang lemah dapat memperoleh haknya dengan tepat dan orang-orang yang kuat tidak akan menganiaya orang-orang lemah sehingga keamanan dan keteraturan sistem dapat terjaga. Agama-agama samawi sepakat dalam masalah kewajiban menegakkan keadilan. Oleh sebab itu, seorang pemimpin dan para pembantunya yang terdiri dari menteri, pegawai dan hakim harus disiplin menegakkan keadilan supaya semua hak dapat terlindungi dan dapat disalurkan.

Banyak ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi yang menerangkan pentingnya menegakkan keadilan. Di antaranya adalah firman Allah SWT, antaranya ialah:

1. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan." (an-Nahl:90).

2. “Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya." (al-An'aam:152).

3. "Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa." (al-Maa'idah:8).

4. "Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil." (al-Maa'idah:8).

5. Allah juga memerintahkan Nabi Dawud untuk berlaku adil, iaitu dalam firman-Nya, "Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil." (Shaad:26).

6. Anas juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, "Umat ini akan terus berada dalam kondisi baik, selagi dalam berbicara mereka selalu jujur apabila menetapkan hukum mereka adil dan selagi dimintai rasa kasih sayang mereka mau memberikan rasa kasih sayang itu."

7. Selain daripada itu Allah juga mengancam kezaliman dan juga orang-orang yang berbuat zalim. Di antaranya adalah dalam firman-Nya, "Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim." (Ibraahiim:42).

8. "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah." (ash-Shaaffaat: 22).

Kemudian Allah memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan perkara yang dapat menyebabkan dia selalu berdisiplin dalam menjaga amanah dan menetapkan hukum secara adil, iaitu taat kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum-Nya, taat kepada Rasul-Nya yang bertugas menerangkan hukum-hukum Allah, dan taat kepada para pemimpin (Ulil Amri). Ini merupakan prinsip dasar ketiga dalam pemerintahan Islami.

Siapakah yang dimaksud dengan Ulil Amri? Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri para pemimpin dan penglima perang. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulul-Amri adalah para ulama yang bertugas menerangkan hukum-hukum syara' kepada manusia.

Semua pendapat tersebut adalah benar dan sesuai dengan makna lahiriah ayat. Oleh sebab itu, taat kepada pemimpin politik pimpinan perang, dan pemimpin yang mengatur urusan negara adalah wajib. Begitu juga wajib hukumnya menaati para ulama yang bertugas menerangkan hukum-hukum agama, mendidik rakyat dalam masalah agama dan juga melakukan amar makruf nahi munkar.

Ibnu al-Arabi berkata, “Menurutku, pendapat yang tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud Ulil Amri adalah para pemimpin dan para ulama. Para pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan menetapkan hukuman. Adapun ulama adalah orang yang berkebolehan untuk ditanya (dalam permasalahan agama). Dia wajib menjawab dan fatwanya wajib dilaksanakan."

Ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Ahl al-Halli wa al-Aqdi (sekumpulan pakar yang mempunyai tugas menetapkan aturan atau membatalkannya). Dengan demikian, ayat tersebut menjadi dalil bagi ijma ulama. Apabila ada pertentangan dan perbedaan pendapat antara kalian dengan Ulil Amri dalam masalah agama dan penyelesaiannya tidak ada dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, hendaknya masalah itu dicarikan rujukan dengan berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Pendapat yang sesuai dengan kaidah umum dapat dilaksanakan, sedangkan yang bertentangan dengan kaidah umum tersebut harus ditinggalkan. Cara seperti ini dalam ilmu ushul fiqih diistilahkan dengan prosedur qiyaas.

Penggunaan qiyaas diakui kebenarannya oleh Rasulullah saw. Ketika beliau mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi Qadhi, beliau bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu akan menetapkan hukum jika terjadi suatu permasalahan?" Muaz menjawab, "Saya akan menetapkan hukum dengan berdasar kitab Allah". Kemudian Rasul kembali bertanya, "fika dalam Al-Qur'an tidak ada keterangannya?" Muaz menjawab, "Saya akan putuskan berdasarkan sunnah nabi Allah". Rasul kembali bertanya, 'Apabila tidak ada keterangan baik dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah?" Muaz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak akan mengabaikannya." Kemudian Rasulullah saw. menepuk dada Muaz dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai oleh Rasulullah."

Ayat di atas juga memberi isyarat bahwa apabila perkara yang dipertentangkan tersebut ada aturan hukumnya dalam nash syara' (Al-Qur'an dan Sunnah), pihak-pihak yang bersengketa harus mematuhi aturan yang ada dalam nash syara' tersebut. Namun apabila tidak ada keterangan dalam nash syara', boleh melakukan ijtihad.

Allah memerintahkan umat Islam untuk mencari jalan keluar permasalahan yang dipertentangkan dengan cara mencari dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Itu jika memang umat Islam beriman kepada Allah dan hari akhir. Orang yang benar-benar beriman tidak akan mengutamakan hukum selain hukum yang telah Allah tetapkan. Dalam mengambil keputusan dia juga akan selalu mempertimbangkan efek ukhrawinya dan akan lebih mengutamakan keridhaan Allah daripada kemewahan dunia. Dalam ayat ini juga tersirat satu ancaman Allah kepada orang-orang yang melanggar aturan dan tidak mau menaati Allah serta Rasul-Nya. Yang jelas ayat ini memerintahkan umat Islam untuk mengembalikan semua perselisihan yang terjadi kepada aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga ayat ini senada dengan firman Allah, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (an-Nisaa': 65).

Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, "Barangsiapa taat kepadaku, dia taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku, dia menentang Allah, dan barangsiapa taat kepada amirku maka dia taat kepadaku, dan barangsiapa menentang amirku, maka dia menentangku." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam firman Allah, "Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisaa': 59).

Ada beberapa kesimpulan yang boleh kita ambil, antaranya ialah:

1. Menetapkan hukuman dengan adil. Ayat di atas memang ditujukan kepada para pemimpin dan hakim, yang juga mencakup semua manusia. Abdullah bin Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Di hari Kiamat, orang-orang yang adil akan berada di mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Allah yang Maha Pengasih. Mereka juga akan berada di sebelah kanan orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil terhadap keluarga dan juga terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.”

Rasulullah saw. juga bersabda, "Setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipelihara. Seorang pemimpin adalah bertugas memelihara (rakyatnya), dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai urusan rakyatnya; seorang suami juga bertugas sebagai pemelihara keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai urusan keluarganya; seorang istri juga bertugas memelihara rumah suaminya, dia akan dimintai tanggung jawab atas tugasnya; seorang hamba sahaya bertugas memelihara harta tuannya dan dia akan dimintai tanggung jawab atas tugasnya. Ketahuilah setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas peliharaannya." (HR Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dari lbnu Amr).

Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menjadikan semua orang sebagai pemelihara dan pemimpin sesuai dengan tugas dan tingkatannya. Orang yang pandai juga punya tanggung jawab terhadap tugasnya. Apa yang dilakukan oleh orang alim seperti mengeluarkan fatwa, menetapkan hukum, menerangkan hukum halal dan haram, menjelaskan perkara yang wajib dan sunah, sah dan tidaknya.

Allah SWT adalah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, sebagaimana yang Allah jelaskan, "Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat." (Thaahaa: 46).

Allah mendengar hukuman-hukuman yang diputuskan oleh para hakim, pemimpin dan lain-lain, dan Dia akan membalas keputusan itu. Dia juga melihat apakah seorang hamba menjalankan amanah dengan baik atau mengkhianatinya, dan kemudian Dia akan membalasnya.

2. Setelah Allah memerintahkan para pemimpin dan para hakim untuk menjalankan amanah dengan baik serta menetapkan hukum dengan adil, Allah memerintahkan semua rakyat untuk; pertama, taat kepada-Nya, iaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kedua, taat kepada Rasul-Nya, dan ketiga, taat kepada para pemimpin.

Namun perlu ditegaskan bahwa kewajiban menaati pemimpin adalah dalam perintah-perintah yang memang wajib ditaati, bukan dalam perintah untuk bermaksiat kepada Allah. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, "Seorang imam wajib melaksanakan pemerintahan dengan adil dan menjalankan amanah dengan benar. Apabila dia sudah melakukannya, kaum Muslimin wajib menaatinya. Hal ini karena Allah memerintahkan kita untuk menjalankan amanah dengan benar dan juga bersikap adil, kemudian Dia memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin."

Taat kepada ahli Al-Qur'an, ahli llmu, ahli fiqih, dan ulama agama juga wajib hukumnya. Ibnu Kaisan berkata, "Mereka adalah orang yang mempunyai akal dan pendapat untuk mengurus urusan-urusan manusia (masyarakat)." Namun pendapat yang tepat adalah pendapat yang pertama karena ulama merupakan sumber penetapan hukum dan perintah. Sementara itu, akal -meskipun merupakan penopang agama dan kehidupan dunia- tidak sesuai dengan makna lahiriah ayat yang kita bahas.

Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara umat dan pemimpinnya, jalan keluarnya adalah merujuk kepada Al-Qur’an atau kepada Rasulullah -disaat beliau masih hidup, bisa langsung bertanya kepadanya. Namun setelah beliau meninggal, dengan cara melihat sunnahnya. Dengan demikian, ayat ini senada dengan ayat, "(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amry'." (an-Nisaa': 83).

Dan juga sesuai dengan firman Allah, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (an-Nuur:63).

Supaya orang mau merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dalam diri orang tersebut harus ada keimanan kepada Allah dan hari akhir terlebih dahulu. Efek dan akibat yang ditimbulkan dari merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah lebih baik daripada berkelanjutan dalam sengketa dan pertentangan.

3. Melalui ayat ini, para ulama juga menyimpulkan bahwa sumber hukum dalam Islam ada empat, iaitu Al-Qur'an, Sunnah, ijma dan qiyas. Sebagian hukum ada yang diterangkan secara jelas dalam Al-Qur'an atau Sunnah sehingga kita wajib mematuhinya dan ini sesuai dengan firman Allah (‘athiuullaha wa athiuurasula) Yang dimaksud dengan sunnah adalah semua perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasul saw..

Adakalanya juga hukum tersebut merupakan hasil kesepakatan Ahl al-halli wa al-‘Aqdi berdasarkan kepada dalil-dalil syara’ yang mereka gunakan, dan ini sesuai dengan firman Allah (wa ulil amri minkum). Adakalanya hukum tersebut tidak diterangkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan juga tidak disepakati ulama sehingga jalan untuk menetapkannya adalah dengan ijtihad dan qiyas iaitu membahas masalah-masalah yang diperselisihkan dengan berpatokan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT, (faaintanaza’tum fii shaiinn farudhuuhu ilallahi wa ar-rasuuli).

Adapun sumber-sumber hukum yang lain seperti istihsaan (yang digunakan oleh madzhab Hanafi), maslahah mursalah (yang digunakan oleh madzhab Maliki) dan istishaab (yang digunakan oleh madzhab Syafi'i) pada hakikatnya sudah tercakup dalam sumber hukum yang empat di atas.

#pemerintahanislam

#pemerintahadil

DrIsbah, Teras Jernang, 14-01-2022.

Rujukan:

Tafsir Al-Munir Jilid 3 - Juzuk 5 & 6, ms. 135 - 144.

No comments:

Post a Comment