Wednesday 16 August 2023

MEMAHAMI ERTI SEBENAR KEMERDEKAAN

Pada 17 Ogos 2023 Indonesia menyambut Hari Kemerdekaan kali ke-78. Kami rakyat Malaysia mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia kepada semua rakyat Indonesia semoga hubungan Malaysia dan Indonesia tetap utuh. Pada 31 Ogos 2023 nanti Malaysia pula akan menyambut kali ke-66.

Berikut saya nukilkan kembali sebahagian dari kuliah yang pernah disampaikan oleh Almarhum Prof Dr. Ir. Muhammad Imaduddin Abdul Rahim mengenai erti kemerdekaan. Ketika itu saya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1970 hingga 1976. Beliau menyampaikan kuliah di Masjid Salman ITB. Mari kita bacakan Al-Fatihah buat beliau semoga ruh beliau berada di samping Allah SWT.

Manusia dan Kemerdekaan

Meng-Esakan Tuhan adalah merupakan masalah kemerdekaan. Adapun kemerdekaan sendiri tidak mudah untuk difahami. Banyak orang menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan akan tetapi tidak memahami hakikat yang dituntut dan diperjuangkannya itu. Dahulu, 32 tahun yang lalu bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan padahal banyak orang yang belum mengerti apa itu yang disebut merdeka dan kemerdekaan oleh karena itu tidak jarang sementara yang lain di zaman revolusi dahulu mati-matian menggunakan pistol atau senjata api lainnya melawan Belanda, ternyata ada juga di antaranya yang tidak segan-segan mempergunakannya untuk maksud merompak kedai-kedai China atau bangsanya sendiri. Bagi mereka yang turut aktif di waktu itu, tentu ingat apa yang beliau (Bang Imad) maksudkan. Ini antara lain sebagai bukti tidak mengertinya sebahagian kita akan erti kemerdekaan.

Malah sampai zaman sekarang pun rupanya masih ada orang yang belum mengerti hakikat kemerdekaan itu. Karena penyelewengan-penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, tindakan otoriter dan sebagainya masih banyak berlangsung.

Definisi “Kemerdekaan”

Kesulitan untuk memahami erti dan hakikat kemerdekaan itu, bila kita fikirkan secara mendalam ialah antara lain karena sukarnya mendefinisikan kemerdekaan itu sendiri. Sebagian ahli falsafah ada yang mengatakan bahwa kemerdekaan itu tidak boleh ditakrifkan, ini bererti ia tidak merdeka lagi. Mendefinisikan kemerdekaan sesuatu artinya memberikan batasan (to define = membatasi). Terjemahan definisi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai batasan memang tepat sesuatu yang sudah dibatasi artinya tidak merdeka lagi bukan? Sekali kemerdekaan itu diberi batasan, maka dia tidak lagi merdeka. Inilah kesulitannya.

Namun demikian, manusia memerlukan suatu pengertian. Ini adalah dilemma bagi manusia. Jadi, jelas pula bahwa manusia itu memang sukar memahami dirinya sendiri. Oleh karena itu bagi mereka yang telah berusaha mempergunakan otaknya secara maksimal, tidaklah dia akan sombong. Sebab bagaimanapun pandainya dia, titelnya banyak, ternyata justeru dialah orang paling pertama menundukkan kepalanya, karena dia pulalah yang paling dulu tahu bahwa sebetulnya otak manusia itu terbatas. Dan pada hakikatnya inilah “kunci masuk” ke dalam agama ini. Dengan kesediaannya mempergunakan otak semaksimal mungkin akhirnya dia sampai kepada konklusi dan esensi Tauhid. Karena pengertian Tauhid sebagai produk daripada penggunaan kemampuan berfikir secara maksimal dia akan menjadi orang yang rendah hati, pasrah, suka mengakui kelemahan dirinya, dan tidak sombong untuk mengakui keterbatasan kemampuannya.

Antara Tauhid dan Islam itu sendiri adalah ibarat dua sisi muka dari sebuah uang logam, yang tidak akan sah kalau tidak ada kedua sisinya itu. Ini tumbuh daripada sikap dan sifat asasi manusia yang ingin merdeka.

Dari gambaran di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa manusia baru bernama manusia kalau dia sudah diberi kemerdekaan, dan itulah sebenarnya perbedaan hakiki manusia dengan binatang.

Tiga Ni’mat Utama

Kemerdekaan ini mempunyai prasarana berupa akal dan rasa. Dengan akal manusia mampu memperlengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Mengapa kemerdekaan harus dipertahankan? Untuk sampai kepada jawapan ini kita harus pula memahami tentang tiga ni’mat Tuhan yang diberikan kepada manusia.

Ni’mat pertama adalah kehidupan. Ni’mat kehidupan diberikan kepada semua makhluk bahkan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan walaupun klasifikasinya lebih rendah daripada manusia. Kehidupan diberikanNya secara gratis, cuma-cuma. Ni’mat kehidupan ini diperlengkapi Tuhan dengan prasarana untuk mempertahankannya yang berupa instink dan nafsu. Instink bernafas, menangis, makan dan sebagainya. Kesemuanya itu tidak perlu didapat melalui sekolah, tidak perlu ada akademinya. Sebaik seseorang lahir secara otomatis dia bernafas, menangis dan menyusui. Inilah instink untuk mempertahankan hidup. Dus, secara alamiah kita wajib mempertahankan hidup sebagai ni’mat Tuhan yang pertama.

Ni’mat Tuhan yang kedua, yang lebih tinggi nilainya jika dibandingkan dengan ni’mat Tuhan yang pertama, itulah kemerdekaan. Mengapa lebih tinggi? Karena kemerdekaan ternyata hanyalah diberikan kepada manusia saja. Binatang, tumbuh-tumbuhan bahkan malaikat sekali pun tidak diberi. Kalau pun malaikat diberi, ternayata lebih terbatas daripada kemerdekaan yang diberikan kepada manusia.

Kemerdekaan ini diperlengkapi dengan prasarana yang berupa akal, yang dapat dipergunakan untuk mencari ilmu. Ni’mat kemerdekaan yang disertai akal inilah yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang lebih tinggi derajatnya dari makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Karena kemerdekaan itulah manusia mendapat jabatan selaku khalifah Tuhan di muka bumi. Sehingga apa pun yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini ditetapkannya untuk melayani manusia semata-mata, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran:

“Dia telah sediakan bagi kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, semuanya daripadaNya. “Sesungguhnya yang demikian itu tanda-tanda bagi golongan yang berfikir.” (QS 45:13).

Jelaslah kiranya bahwa kemerdekaan merupakan ni’mat Tuhan yang mempunyai nilai lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri. Konsekuensinya, bilamana kita dihadapkan kepada pilihan pengorbanan, maka demi mempertahankan kemerdekaan kehidupan itulah yang sepantasnya kita korbankan. Sebab bila terjadi sebaliknya maka berubahlah manusia itu menjadi binatang. Dia korbankan kemerdekaannya, dia korbankan integritas ilmiahnya karena ingin mempertinggi atau mempermewah kehidupannya. Dia mungkin menjadi Menteri, menjadi pejabat, namun takaran jongos tingkat tinggi, jika dia mengorbankan integritasnya. Tidak lagi dia berani mengeluarkan isi hatinya dan suara dhamirnya atau consciencenya, karena kuatir jabatan (jawatan) akan terlepas, takut dipecat dan sebagainya.

Inilah gambaran orang yang mendahulukan dan mementingkan kehidupannya daripada kemerdekaan dirinya. Tetapi masyarakat pun, apalagi generasi muda khususnya para mahasiswa yang menggunakan ketajaman berfikir dan berlandaskan kekuatan moral, tidak akan lagi menaruh hormat kepada para pemimpin yang memiliki karakter demikian.

Termasuk orang yang bijaksana ialah mereka yang menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Demikianlah hendaknya kita tempatkan kemerdekaan di atas kehidupan. Ia bersedia melarat hidup asalkan merdeka. Dia berani mengorbankan kehidupannya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan.

Bagaimana hanlnya dengan orang-orang yang beriman? Bagi mereka di atas kedua ni’mat tersebut (kehidupan dan kemerdekaan) terdapat ni’mat Tuhan yang paling tinggi nilainya, itulah hidayah iman, ni’mat ketiga. Kalau yang terakhir ini yang mahu dipertahankan dan diperjuangkan, maka kedua ni’mat terdahulu wajib rela pula untuk dikorbankan. Sebagaimana dicontohkan oleh Imam Hanafi, dibiarkan dirinya 9 tahun dalam penjara daripada harus menjual dan menggadaikan imannya. Sekalipun 10 cambukan menderanya setiap hari selama 9 tahun itu, sehingga tatkala keluar dari penjara itu, punggungnya menjadi setebal telapak kakinya. Demikian perumpamaan orang yang meletakkan hidayah iman di atas segala ni’mat termasuk kehidupan dan kemerdekaannya. Ia berkorban segala ni’mat lainya itu semata-mata demi eksisitensi Imannya kepada Allah SWT. Kembali kepada soal kemerdekaan, kalau itu yang menjadi tujuannya, tidak sia-sialah rakyat Indonesia puluhan tahun yang lalu rela mengorbankan hidupnya dan kehidupannya untuk mencapai kemerdekaan itu. Sepantasnya mereka disebut sebagai pahlawan (pahalawan), artinya orang banyak pahala. Tuhan pun melarang menyebut mereka yang telah gugur di dalam merebut dan mnenegakkan kemerdekaan, sebagai mikmat yang diberikan-Nya itu, mati.

“Jangan kamu katakan orang yang gugur di medan pertempuran di jalan Allah (mempertahankan hak-haknya) sebagai mati, sebab sesungguhnya mereka itu hidup, walaupun tidaklah kamu merasakannya.” (al-Baqarah (2):154).

Dengan kemerdekaanlah orang itu berkembang fikirannya. Tuhan sengaja membiarkan manusia itu mengembangkan fikiran dan pendapatnya, sampai-sampai oleh para pembangkang dipakai malah untuk membangkang dan menentangNya. “A right to dissent”, bahkan hak untuk menentang Tuhan dijamin oleh Tuhan. Mengapa misalnya Tuhan tidak pernah spontan menghukum seseorang di dunia ini sekalipun dia mengatakan tidak mempercayai-Nya, bahkan mendustakan dan mencaci-maki-Nya. Orang itu tidak sertamerta (kontan) mati atau cedera karenanya. Kadang-kadang kekafirannya itu mendorongnya lebih cepat dan dinamik mengejar kehidupan materialnya sehingga tidak perlu ia mengindahkan batas-batas halal dan haram misalnya. Salah satu sebab yang paling utama ialah karena Tuhan menjamin kemerdekaan itu, sekalipun dipergunakan untuk menentang Tuhan sendiri. Jadi andaikata seseorang atau sekelompok pemimpin tidak memperbolehkan rakyatnya berbeda pendapat dengan mereka, ini namanya pemimpin yang sudah melebihi sifat Tuhan. Menempatkan diri dan kekuasaannya di atas Tuhan. Padahal Tuhan sendiri yang memiliki kekuatan absolut menghargai beda pendapat itu. Demikian kita bisa menarik kesimpulan bahwa Allah SWT menjamin kemerdekaan manusia. Kemerdekaan itu adalah ni’mat Tuhan yang lebih penting daripada kehidupan. Kemerdekaan hanya diberikan kepada manusia saja. Karena kemerdekaan manusia berbeda dengan binatang dan hanya dengan kemerdekaan manusia dapat mengembangkan fikiran dan pendapatnya.

Orang yang mahu mengorbankan kemerdekaan untuk mengejar dan mempertinggi kehidupan materialnya semata-mata terpandang hina di dunia ini. Apa dia mengaku Islam atau tidak mengaku Islam. Siapa pun tidak menaruh respect lagi kepadanya. Sebaliknya orang yang berani dan bersedia mengorbankan hidupnya demi mempertahankan kesucian kemerdekaannya, dari kalangan dan keyakinan manapun dia akan dihormati sebagai pahlawan. Dengan demikian kita yakin bahwa nilai daripada kemerdekaan itu lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri. Namun dengan kemerdekaan dan akal budinya itu manusia hendaknya mampu memahami misi dan tugas yang sesungguhnya di muka bumi ini yang tiada lain kecuali untuk sampai kepada beriman dan mampu men-Tauhidkan Allah.

Iman yang ikhlas berlandaskan kemerdekaan.

Maka atas dasar kemerdekaan itu pula Islam adalah satu-satunya agama yang menentang setiap pemaksaan, di samping sangat menghargai adanya perbedaan pendapat dan sangat mengutamakan kekuatan berfikir para pemeluknya. Bertaburan ayat-ayat dalam al-Quran yang menyatakan hal ini. Demikian pula Sunnah Nabi. Paksaan di dalam meyakini dan mematuhi Tuhan sendiri, sungguh dilarang oleh Tuhan. Tetapi dirangsangnya manusia untuk memutar otak sebagaimana ayat:

“Jangan ada paksan di dalam beragama karena sesungguhnya sudah jelas garis pemisah antara yang hak daripada yang bathil.” (al-Baqarah (2):256).

Mengapa pula Tuhan sedemikian rupa memberi tuntunannya? Tiada lain sebagai bukti pula bahwa seandainya Iman itu saja yang dikehendakinya tanpa proses kemerdekaan dan kemampuan daya fikir manusia itu sendiri Tuhan mampu membuat seluruh manusia di muka bumi ini beriman kepadaNya.

“Kalau memang itu yang dikehendaki Tuhanmu, maka berimanlah manusia di bumi ini keseluruhannya.” (Yuunus (10):99).

Kalau memang itu semata-mata yang dikehendakiNya. Tetapi bukan itu! Bukan Iman saja yang dikehendaki oleh Tuhan, sehingga Ia kemudian melanjutkan penegasanNya.

“(Apakah setelah kamu mengetahui demikian halnya, bahwa Tuhan tidak menghendaki pemak saati) apakah kamu akan memaksa seluruh manusia supaya ber-Iman?” (Yuunus (10):99).

Sungguh satu peringatan yang tajam sekali! Tuhan benar-benar membuktikan adanya kebebasan yang diberikan kepada kita. Sehingga alternatifnya pun cuma ada dua: patuh dengan segala konsekuensinya dan membangkang dengan segala konsekuensinya pula. Maka jadilah ni’mat Iman itu lebih tinggi nilainya daripada kemerdekaan dan kehidupan. Apabila kehidupan dan kemerdekaan itu diberikan kepada setiap manusia dengan tidak pandang bulu, maka tidak demikian halnya dengan ni’mat Iman itu sendiri. Bahkan kepada keluarga terdekat Rasulullah pun tidak diberikanNya. Sebab Tuhan sungguh Maha Bijaksana untuk memberikannya hanya kepada “orang-orang pilihan”. Tuhan lebih pandai daripada seorang jauhari ahli permata. Kalau seorang jauh dari tidak mungkin memasangkan intan di atas tembaga, demikianlah Allah mustahil menerapkan Iman kepada sembarang orang sampai orang tersebut disepuh, digembleng sebelumnya seumpama biji-biji emas yang mesti dibakar dengan temperature yang tinggi untuk dapat mengeluarkan buih-buih kotorannya. Apabila dia sudah murni, 24 karat, barulah dia pantas dipersunting dengan permata yang indah atau intan berlian. Oleh karena itu Tuhan berfirman dalam al-Quran:

“Barangkali yang ditunjuki Allah, berhak mendapat hidayah, tapi barangsiap yang sesat (belum sampai derajatnya untuk mendapat hidayah), sesungguhnya mereka orang-orang yang rugi.” (al-A’raaf (7):178).

Dalam hubungan ini kita sepatutnya berhati-hati, sebab banyak juga para orientalis atau mereka yang dikatakan intelek menyalahgunakan dan menghubungkan ayat tersebut dengan masalah-masalah yang lain. Dipersangkutkannya dengan soal-soal takdir, predestination dan sebagainya, Hal demikian akhirnya menimbulkan anggapan-anggapan yang bersifat skeptisisme dan apatisme. Apalah gunanya saya sembahyang dan beribadah, namun segalanya sudah ditentukan dan ditakdirkan Tuhan. Sebenarnya ini lebih merupakan jalan fikiran “man on the street” dan bukan logika orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar. Yang benar, ayat tersebut difirmankan Tuhan khusus dalam konteks yang sudah diterangkan di atas, tidak ada sangkut pautnya dengan masalah takdir.

Mari kita isi kemerdekaan dengan memperbanyakkan ilmu pengetahuan melalui pembacaan dan penulisan. Juga perlu diadakan diskusi ilmiah, perbincangan bagi merapatkan kesenjangan (perbezaan) antara sesama rakyat. Demi keadilan yang saksama kita memerlukan pemimpin yang bersih, kuat, dan berakhlak mulia karena tidak cukup dengan aman dan afdal Sahaja, negara Indonesia dan Malaysia boleh maju tetapi dengan warganya yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia akan dapat kita wariskan kepada generasi yang akan datang dengan selamat dan Bahagia. Aamiin…

DrIsbah, Teras Jernang, 17-08-2023.